KESETARAAN GENDER PADA MUSEUM MANDALA BHAKTI WANITATAMA

2
min read
A- A+
read

Kesetaraan Gender Pada Museum Mandala Bhakti Wanitatama

Perempuan memiliki peranan penting dalam pendidikan untuk mencetak generasi penerus bangsa, namun dalam kenyataannya masih ada harus konstruksi yang dibangun dan diperbaiki. Kesenjangan berdasarkan wilayah kota dan desa masih menjadi persoalan pembangunan dalam bidang pendidikan di Indonesia. Hal ini menunjukkan agenda pembangunan manusia di bidang pendidikan belum selesai, terutama di wilayah perdesaan dan di provinsi yang belum mencapai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Perempuan tidak hanya mampu mengemban urusan domestik, namun mereka juga mampu berkontribusi lebih untuk kemajuan bangsa. Indonesia memiliki cara tersendiri dalam menghargai jasa-jasa Pahlawan Nasional yang tidak terbatas gender. Berdasarkan data dari Kementerian Sosial RI ada 179 Pahlawan Nasional resmi yang terdiri atas 164 laki-laki dan 15 perempuan. Ini menunjukkan jumlah yang sedikit bagi perempuan, sehingga menunjukkan ketimpangan dalam hal penghargaan dan kesetaraan atas peran. Oleh karena itu, untuk menunjukkan pentingnya memperjuangkan hak-hak kesetaraan gender khususnya dalam mendukung keterlibatan perempuan, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial UNY berusaha mengungkapkan nilai-nilai yang dapat diambil dari sebuah pergerakan di Indonesia sebagai inspirasi dan edukasi melalui wujud penghormatan terhadap para perempuan sekaligus menjadi wadah bagi pengembangan diri, yaitu monumen Mandala Bhakti Wanitatama. Mereka adalah Devita Eka Cahyani dan Diah Nadiatul Jannah prodi Pendidikan IPS serta Arfaton prodi Sejarah.

Menurut Devita Eka Cahyani, Mandala Bhakti Wanitatama di Yogyakarta merupakan monumen pergerakan wanita sekaligus menjadi tonggak sejarah perjuangan wanita Indonesia. Gedung yang memiliki arti nama sebagai tempat berbakti para wanita utama ini terbagi menjadi beberapa bangunan yaitu Balai Shinta, Balai Kunthi dan Balai Utari. “Salah satu bangunan yang sangat kental dengan sejarah perjuangan yang ada didalamnya yaitu Museum Monumen Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia, diresmikan oleh Presiden Soeharto 22 Desember 1983” katanya. Museum ini didirikan dalam rangka memperingati kongres perempuan pertama pada tahun 1928 di Yogyakarta. Gadis kelahiran Bantul 31 Januari 2000 itu menjelaskan bahwa gagasan didirikannya monumen pertama kali diutarakan oleh Sri Mangunsarkoro pada Kongres Wanita Indonesia tahun 1952 di Bandung. Monumen dibangun tidak berwujud tugu, namun berbentuk gedung dengan tujuan dapat digunakan untuk meningkatkan aktivitas kaum wanita yang berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun materi koleksi yang dipamerkan berupa diorama perjuangan wanita, potret-potret peristiwa, pakaian pejuang wanita, mesin jahit, mesin ketik, dan lain sebagainya yang pernah dipergunakan oleh pejuang wanita pada saat itu.

Diah Nadiatul Jannah memaparkan nilai kesetaraan gender yang ada di gedung Mandala Bhakti Wanitatama dapat tercermin lewat koleksi museum ini diantaranya diorama Pemilu yang menggambarkan kerja sama antara pria dan wanita. Selain itu perempuan sudah diberi hak memilih dan dipilih, bahkan hak untuk dipilihpun sudah ada sejak 1938 pada waktu kongres ketiga karena terdapat empat perempuan diangkat menjadi Dewan Kota. Hal tersebut berarti bahwa perempuan sudah diakui. ”Terdapat juga diorama tokoh kesetaraan gender RA Kartini berupa diorama dan lukisan” kata Diah. Koleksi yang mencerminkan kesetaraan gender yang selanjutnya itu diorama masa perang kemerdekaan yang memiliki arti bahwa selain sibuk di dapur dan PMI, perempuan juga sibuk menjadi tentara perempuan untuk ikut membela negara, tidak hanya tentara laki-laki saja. Selain itu di museum ini ada koleksi tentang penghapusan semua praktik berbahaya, seperti perkawinan usia anak, perkawinan dini dan paksa, serta sunat perempuan. Pernikahan dini sendiri merupakan salah satu bahasan pada kongres perempuan pertama di mana kongres tersebut menolak adanya praktik pernikahan dini.

Arfaton mengatakan dalam menggali informasi mereka menggunakan langkah pengajuan  pertanyaan  kepada  narasumber  dengan  cara  wawancara. Setelah melalui kajian dengan melibatkan beberapa pihak diantaranya dari museum dan dosen pembimbing disimpulkan bahwa di museum Mandala Bhakti Wanitatama dengan segala historis dan komponennya dapat merepresentasikan kesetaraan gender yang termasuk dalam target tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) poin lima yaitu kesetaraan gender. “Kaitannya dengan organisasi dapat memaknai baik peristiwa maupun segala bentuk tersirat didalam Mandala Bhakti Wanitatama untuk diambil pelajarannya sebagai wujud mendukung kesetaraan gender” ungkapnya. Hal ini sejalan dengan United Nations Development Program tentang prioritas utama untuk mengintegrasikan kesetaraan gender. Penelitian ini berhasil meraih dana Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora sekaligus lolos seleksi Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) yang dilaksanakan akhir Oktober secara daring. (Dedy)