MEMBUAT STYROFOAM DARI KULIT PISANG DAN AMPAS TEBU, MAHASISWA UNY RAIH BRONZE MEDAL DALAM AJANG MIIEX DI MALAYSIA

1
min read
A- A+
read

MEMBUAT STYROFOAM DARI KULIT PISANG DAN AMPAS TEBU, MAHASISWA UNY RAIH BRONZE MEDAL DALAM AJANG MIIEX DI MALAYSIA

Pemakaian styrofoam untuk pembungkus makanan sudah tidak asing lagi bagi masyarakat akan tetapi styrofoam juga memiliki dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan. Styrofoam terbukti tidak ramah lingkungan, karena tidak dapat diuraikan sama sekali. Bahkan pada proses produksinya menghasilkan limbah yang tidak sedikit, sehingga dikategorikan sebagai penghasil limbah berbahaya ke-5 terbesar di dunia oleh Enviromental Protection Agency (Hendrawati, 2015).Melihat keprihatinan tersebut mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang terdiri dari Zulkaisi Dwi P (Pendidikan Fisika 2016), Ahmad Malik Akbarudin (Biologi 2018), Inten Widyaningrum (Kimia 2018), dan Watik Novianingsih (Pendidikan IPS 2017) membuat inovasi styrofoam dari bahan kulit pisang dan ampas tebu.

Melalui inovasi tersebut, mahasiswa UNY berhasil meraih bronze medal dalam ajang Melaka International Intellectual Exposition (MIIEx 2019). MIIEx 2019 merupakan event tahunan yang diselenggarakan oleh Universiti Teknologi Mara (UiTM) Malaysia belum lama ini dengan tujuan untuk menampilkan ide-ide dan inspirasi yang cocok untuk kebutuhan komersialisasi. Ajang ini menciptakan platform bagi para peneliti untuk membangun jejaring, kemitraan, dan peluang untuk berkolaborasi dengan industri.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016, produksi sampah provinsi DKI Jakarta mencapai 7.099,08 m3.  Namun, hanya 84,7 persen dari jumlah sampah tersebut yang bisa terangkut. Sisanya terbuang di alam, termasuk mengalir ke laut. Sampah yang tak terangkut ke tempat pembuangan dan sebagian mengalir ke laut tersebut didominasi oleh styrofoam dan jenis plastik lainnya. Penyumbang terbesar sampah styrofoam adalah non-rumah tangga sebanyak 11,9 ton per bulan. Sementara itu, rumah tangga menyumbang sebanyak 9,8 ton per bulan. Persentase sampah styrofoam mencapai 1,14% dari 12% sampah plastik yang terkumpul setiap bulannya (Saputra, 2016).

Watik Novianingsih menjelaskan, untuk menggantikan styrofoam sebagai kemasan pangan maka dibutuhkan kemasan yang karakteristiknya harus mendekati karakteristik styrofoam seperti, memiliki bobot ringan, tahan terhadap air, dan mampu menahan suhu panas maupun dingin, serta harga produksinya yang murah. “Kemasan alternatif tersebut haruslah bersumber dari bahan baku yang dapat diperbaharui, dapat terurai serta tidak beracun atau berbahaya bagi lingkungan serta kesehatan” tuturnya

Pati dan selulosa merupakan bahan yang potensial untuk dibuat menjadi kemasan alternatif. Kedua bahan tersebut keberadaannya sangat melimpah dan bahkan terdapat pada limbah-limbah organik. Salah satu sumber pati yang mudah didapatkan yaitu dari karbohidrat limbah kulit pisang. Karbohidrat yang terkandung dalam kulit pisang adalah amilum (pati), sehingga dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan tepung. Sedangkan sumber selulosa yang digunakan adalah dari limbah ampas tebu. Ampas tebu mengandung hemiselulosa 20%, selulosa 52,7% dan lignin 24,2% (Samsuri, 2007).

Watik Novianingsih menambahkan, kemasan alternatif sebagai pengganti styrofoam yaitu biofoam. Biofoam dibuat dari pati yang berasal dari bahan organik dengan tambahan selulosa untuk memperkuat strukturnya. Biofoam ini memiliki sifat biodegradable dan renewable. Biodegradable berarti bahwa produk dapat terurai dengan sendirinya secara alami karena sifatnya yang terbuat dari bahan organik sedangkan renewable berarti dapat diperbaharui dan ramah lingkungan. “Biofoam ini diharapkan dapat menjadi kemasan produk makanan dan minuman yang aman bagi manusia maupun lingkungan” imbuhnya (Eko)