PENILAIAN RANAH AFEKTIF DALAM PEMBELAJARAN (MATEMATIKA) DAN TANTANGANNYA BAGI LEMBAGA PENDIDIKAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Ada kendala atau permasalahan yang dihadapi dalam implementasi kurikulum di Satuan Pendidikan (sekolah), dan ini sudah terjadi lebih dari 15 tahun, yakni kesulitan dalam melakukan penilaian hasil belajar ranah afektif. Hal ini merupakan tantangan sekaligus ladang kegiatan (amal) dari Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK) dan LPTK sangat berpotensi untuk memberikan alternatif solusinya. Bentuk alternatif solusinya antara lain: mengoptimalkan pengelolaan hasil penelitaian tugas akhir.

Beberapa rekomendasi yang bisa dimajukan terkait dengan hal ini, membentuk (mengoptimalkan): (1) kelompok kerja level prodi; (2) kelompok kerja level lembaga atau institusi. Kelompok kerja level prodi khususnya S-2 dan S-3, bekerja untuk menindaklanjuti: a) pengelompokan hasil penelitian, terutama yang berkaitan dengan pengembangan model penilaian, pengembangan instrumen penilaian berdasarkan kualitas dan ranah afektif atau topik, untuk memilah mana yang siap dengan polesan sedikit disusun menjadi buku, mana yang perlu perbaikan /editing sedikit dan siap dijadikan buku, dan mana yang perlu dijadikan objek penelitian atau agenda pengembangan lebih lanjut, b) kelompok kerja yang menyiapkan draft buku, dan c) kelompok pengembang prodi. Kelompok kerja level lembaga atau institusi bisa terdiri: a) kelompok kerja penyempurnaan draft buku yang terdiri dari ahli kegrafikaan, komunikasi, bahasa, dan seni, b) kelompok kerja penyiapanan cetak dan pengelola buku pascacetak (elektronik), dan c) kelompok kerja yang menangani kerja sama yang terdiri dari para ahli komunikasi, public relation, diplomasi, jiwa proaktif, pandai melihat dan menciptakan peluang kerja sama, dan banyak relasi dengan pihak luar (kementerian, PEMDA, Dinas Pendidikan daerah), serta pejuang keras. Kelompok ini sangat potensial dalam membuka jalan bagi lembaga untuk mengoptimalkan pemberdayaan SDM yang dimiliki, untuk berperan serta dalam upaya mengatasi permasalahan penilaian ranah afektif baik pada skala nasional, ataupun daerah.

Jika dilakukan inferensi lebih lanjut, rekomendasi ini bisa diperluas di bidang implementasi kurikulum secara umum, bahkan bisa diperluas ke bidang nonkependidikan. Karena jika disingkap lebih jauh, ada juga kendala atau permasalahan lain yang dihadapi bangsa, yang sebenarnya potensial bisa diatasi oleh perguruan tinggi pada umumnya (tidak terbatas hanya LPTK), yang bisa dimanfaatkan sebagai amal ibadah sekaligus untuk pengembangan dan kiprah lembaga perguruan tinggi.

Kendala/keterbatasan yang dihadapi dalam implementasi kurikulum, khususnya dalam penilaian di antaranya sebagai berikut: (1) masih adanya keterbatasan waktu atau kompetensi pendidik dalam melakukan penilaian ranah afektif; (2) masih sedikit atau kurang tersedianya model penilaian ranah afektif yang praktis, mudah digunakan, bisa, dan mudah diakses oleh pendidik; dan masih terbatasnya pelatihan-pelatihan terkait dengan upaya peningkatan kompetensi pendidikan dalam penilaian ranah afektif, dengan berbagai sebab (waktu, anggaran, atau sebab lainnya).

Apa yang bisa dilakukan LPTK untuk mengatasi kendala-kendala tersebut? LPTK sebenarnya memiliki potensi atau “harta karun” yang mungkin masih ada yang kurang digali atau masih bisa ditingkatkan atau dioptimalkan pendayagunaannya. Harta karun tersebut antara lain berupa hasil-hasil penelitian, sumber daya manusia (baik itu dosen, tenaga kependidikan, maupun mahasiswa) dan sumber daya lainnya (fasilitas, sarana, dan prasarana).

Salah satu hal yang masih menjadi pekerjaan rumah adalah pengelolaan SDM untuk menjalankan gagasan terkait pengoptimalan hasil penelitian mahasiswa. Karakteristik dan kiprah dari SDM yang dimiliki LPTK sangat bervariatif. Ada SDM yang sangat aktif berkiprah di dalam lembaga, aktif berkiprah di luar lembaga, atau bahkan aktif berkiprah di dalam dan di luar lembaga, namun masih ada yang biasa-biasa saja. Sementara itu, ada SDM yang sangat luas hubungan/jaringan komunikasi dan koneksinya, ada pula yang lingkupnya masih level lembaga/keluarga saja. Ada SDM sangat kreatif dan inovatif, namun ada yang standar-standar saja. Bagi mereka yang termasuk luas jaringan komunikasi dan koneksinya, kreatif, inovatif, berani dan suka menghadapi tantangan, mereka umumnya sudah banyak berkiprah di luar lembaga, atau masih tetap di lembaga, akan tetapi sudah banyak kegiatan yang dilakukan. Meskipun hal ini sudah baik, akan tetapi tidak menutup kemungkinan kalau dikelola atau diatur dengan baik, bisa menghasilkan hasil yang lebih optimal lagi. Oleh karena itu, perlu adanya aksi untuk mengoptimalkan hasil guna atau produktivitas SDM dan sumber daya lainnya yang bisa dikembangkan. Salah satu bentuk upaya mengoptimalkan hal tersebut, adalah memperluas jaringan kerja sama.

Terkait dengan implementasi kurikulum, adanya kendala seperti dikemukakan sebelumnya, tampaknya masih akan terus terjadi selama belum ada tindakan yang sistematis, terstruktur, dan komprehensif atau menyeluruh untuk mengatasi kendala tersebut. Tampaknya akan mengalami kendala (baik SDM atau waktu, atau mungkin dana) untuk dapat menjangkau seluruh wilayah di negara kesatuan Republik Indonesia yang sangat luas dan variatif geografisnya ini. Salah satu alternatif untuk mengatasi kendala itu, adalah kerja sama dengan perguruan tinggi, khususnya Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Ini dapat dipandang sebagai peluang besar menjalin kerja sama antarlembaga. Jika sampai saat ini adanya kerja sama antara LPTK dan kementerian karena adanya mandat atau adanya hubungan baik antarpersonal di kedua lembaga, mungkin akan lebih optimal pendayagunaannya jika dilakukan secara proaktif. Bentuk kerja sama bisa berupa penyediaan media (buku, perangkat instrumen penilaian, yang sudah dihasilkan dari pengoptimalan hasil penelitian), pelatihan, atau penyediaan pakar untuk membantu mengatasi kendala yang akan muncul ketika implementasi kurikulum dimulai.

Prof. Dr. Jailani, M.Pd
Ada kendala atau permasalahan yang dihadapi dalam implementasi kurikulum di Satuan Pendidikan (sekolah), dan ini sudah terjadi lebih dari 15 tahun, yakni kesulitan dalam melakukan penilaian hasil belajar ranah afektif.