Pendidikan Bermakna: Menghadapi Tantangan dan Peluang di Era Digital

1
min read
A- A+
read

Prof. Sugeng Bayu Wahyono

Universitas Negeri Yogyakarta - Di tengah gejolak transformasi digital, pendidikan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perubahan yang terjadi di Indonesia. Namun, dengan maraknya penggunaan teknologi dalam pembelajaran, muncul pula risiko terhadap pembentukan subjek aktif dalam pendidikan. Prof. Dr. Sugeng Bayu Wahyono, M.Si., guru besar bidang Ilmu Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Yogyakarta menawarkan konsep pendidikan bermakna sebagai alternatif solusi dalam menghadapi tantangan dan peluang di era digital.

Pendidikan bermakna adalah kombinasi antara pedagogi kritis dan pendidikan partisipatoris. Pedagogi kritis menekankan pembebasan dari struktur yang menindas, sementara pendidikan partisipatoris mendorong peserta didik untuk menjadi subjek aktif dalam pembelajaran. Dengan demikian, pendidikan bermakna tidak hanya membangun kesadaran kritis, tetapi juga melibatkan peserta didik secara aktif dalam memproduksi pengetahuan dan memecahkan masalah sehari-hari.

Pendiri Perhimpunan Warga Pancasila (PWP) Yogyakarta ini juga menegaskan bahwa pendidikan bermakna memegang peran penting dalam memperbaiki tata kehidupan masyarakat dan negara. Di tengah arus informasi yang dipandu oleh algoritma dan teknologi, pendidikan bermakna membuka ruang untuk keterlibatan yang lebih aktif dari peserta didik. Ini penting karena penggunaan media baru dalam pembelajaran sering kali lebih mengarah pada konsumsi daripada pembentukan pengetahuan yang kritis.

Meskipun penting, implementasi pendidikan bermakna di Indonesia tidaklah mudah. Rendahnya kemampuan belajar mandiri peserta didik menjadi salah satu tantangan utama. Banyaknya akses ke konten rekreatif daripada edukatif juga menghambat proses pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah. “Bahkan keterlibatan dalam proses pembelajaran secara algoritmik melalui media baru itu dapat juga mematikan daya kreasi dan imajinasinya.” Paparnya.

Profesor yang telah menulis 11 buku di bidang sosial pendidikan tersebut menambahkan bahwa pendidikan bermakna dapat menjadi solusi untuk mengatasi tantangan tersebut. Melalui pendekatan ini, peserta didik tidak hanya diposisikan sebagai konsumen pasif, tetapi sebagai agen yang aktif dalam pembelajaran. Hal ini juga membantu dalam membangun kemampuan bernegosiasi terhadap berbagai bentuk globalisasi yang dapat mengancam kedaulatan dan identitas bangsa.

Pemahaman tentang teknologi tidak hanya sebatas hard technology, tetapi juga soft technology. Soft technology mencakup proses intelektual yang memfasilitasi pembelajaran dan peningkatan kinerja. Dalam proses pendidikan, ini berarti menggunakan teknologi sebagai alat untuk memperluas proses pembelajaran, bukan sebagai pengganti dari proses tersebut. Pendidikan bermakna juga penting untuk mengintegrasikan konteks sosio-kultural setempat. Di Indonesia, ini berarti memahami akar sosio-kultural sebagai bangsa agraris-maritim. Melalui pendidikan bermakna, peserta didik dapat mengembangkan apresiasi terhadap budaya lokal dan memanfaatkan sumber daya alam secara cerdas.

Risiko diterminisme teknologi dalam pendidikan juga harus diwaspadai. Sosiologi kritis dapat membantu dalam memahami bagaimana teknologi dapat mengontrol proses pembelajaran. Melalui pendidikan bermakna, peserta didik dapat menjadi lebih waspada terhadap pengaruh ideologi kapitalis dalam konteks pembelajaran. Untuk mewujudkan pendidikan bermakna, perlu adanya upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pendidik, lembaga pendidikan, dan pemerintah. Hanya dengan pendekatan yang holistik dan inklusif, pendidikan bermakna dapat menjadi pilar utama dalam membangun bangsa yang berdaulat dan berdaya. Dengan demikian, pendidikan bermakna bukan hanya sekadar konsep, tetapi merupakan landasan yang kuat dalam mempersiapkan generasi masa depan yang kritis, mandiri, dan berdaya saing.

Penulis: Debi Pranata

Editor: Dedy

IKU
IKU 5. Hasil Kerja Dosen Digunakan oleh Masyarakat