TRANSFORMASI ISLAM JAWA DALAM SASTRA JAWA KLASIK

Kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang sudah berusia sangat tua. Budaya tulis yang sering disebut sastra tulis sudah dimulai dari abad ke-7 dengan ditemukannya karya sastra berjudul Candakarana pada zaman Mataram Kuno. Masa tersebut disebut sebagai masa Jawa Kuno dalam arti masa berkembangnya sastra Jawa Kuno (Zoetmulder,1985). Karya sastra Jawa terjalin dalam rangkaian sejarah sastra dari sastra Jawa Kuno yang dimulai dari abad 8 s.d. 14, sastra Jawa Pertengahan yang dimulai dari abad ke-14 sampai abad ke-15.

Pengertian sastra Jawa Pertengahan dalam sejarah sastra Jawa merupakan bentuk sastra Jawa yang berkembang dari sastra Jawa Kuno. Sastra Jawa Antara dan sastra Jawa Islam dimulai dari Kerajaan Demak sampai tahun 1719. Istilah sastra Jawa Antara disebut pula masa Peralihan, yaitu masa Peralihan dari zaman Jawa Kuno ke masa Islam. Periode sastra Jawa Antara adalah periode masuknya Islam dalam karya-karya sastra Jawa yang dimulai dari abad ke-16 (Pustakawara t.t). Sastra Jawa Baru dimulai dari tahun 1749 yang merupakan masa pemerintahan Paku Buwana II sampai terbitnya novel karya R.B. Sulardi yang berjudul Serat Riyanto tahun 1920. Periode sastra Jawa Baru ini kemudian disebut sebagai periode Sastra Klasik. Selanjutnya, sastra Jawa Modern yaitu masa setelah terbitnya Serat Riyanto sampai dengan saat ini.

Agama Islam berkembang dan masuk dalam karya-karya sastra selain genre suluk sesuai dengan perkembangan agama Islam yang makin subur di Kerajaan Mataram Islam. Dimungkinkan transformasi budaya Islam dengan budaya Jawa yang pada mulanya sangat subur pada zaman Jawa Antara dan makin berkurang pada zaman selanjutnya. Perkembangan budaya Islam serta transformasi yang terjadi tampak pula pada genre karya-karya sastra selain karya sastra suluk, wirid, dan primbon. Misalnya, pada karya sastra wulang, niti, babad, dan cerita wayang.

Karya sastra merupakan cerminan realitas budaya pada waktu karya sastra tersebut diciptakan. Realitas tradisi Islam-Jawa dalam budaya Jawa sampai sekarang masih berlangsung walaupun pada kalangan tertentu terjadi perdebatan (Muslich, 2006). Secara historis masuknya Islam di Jawa bersamaan dengan munculnya naskah[1]naskah Jawa Klasik yang berbentuk serat piwulang, usada, dan serat berisi tentang mistik Jawa seperti Kidung Purwajati dan adat-istiadat lainnya. Hal tersebut tidak terlepas dari dialektika nilai-nilai ajaran Islam yang dibawa oleh para wali dan kedekatannya dengan penguasa di Jawa. Peran Kasunanan Surakarta dalam menginternalisasikan budaya lokal dan nilai-nilai Islam melahirkan sistem tata nilai dan adat-istiadat serta istilah kepustakaan Islam, Kejawen, Sekaten, serta gelar-gelar kehormatan. Gelar kehormatan seperti Abdurrahman Syaidin Panatagama, wali mukmin adalah bukti konkret bias dialektika budaya lokal dalam ajaran Islam (Muslich, 2006).

Karya-karya Paku Buwana IV dan Mangkunegara IV seperti halnya karya-karya Yasadipura I dan II, serta karya-karya pada masa pemerintahan Panembahan Seda Krapyak banyak mempertemukan tradisi-tradisi Jawa dengan unsur-unsur Islam. Hal itu menyebabkan karya-karya tersebut dimasukkan dalam Kapustakan Islam Jawa. Pada masa pemerintahan Paku Buwana IV telah terjadi perubahan sikap keagamaan di Kasunanan Surakarta yang lebih berorientasi kepada pemerintah. Ajaran Islam kembali didasarkan pada Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW dengan melalui sebuah proses (Muslich, 2006).

Perubahan budaya yang terjadi tersebut sangat mempengaruhi isi karya sastra Jawa Klasik sehingga nilai-nilai yang ada cenderung mengalami transformasi yang tampak pada adaptasi dan juga kreativitas. Transformasi tampak secara eksplisit dari kalimat-kalimat yang mendukung teks maupun secara implisit dari makna dan juga kalimat-kalimat yang mendukung teks. Tulisan ini akan mengupas tentang transformasi Islam Jawa dalam Sastra Jawa Klasik dengan sampel teks Serat Kidungan Purwajati dan Serat Wulang Dalem Warni Warni.

Dalam budaya Jawa mitos magi-religi, mistik, dan ilmu pengetahuan bercampur dan hidup berdampingan. Unsur-unsur tersebut saling mempengaruhi dan membentuk peradaban khas Jawa. Hal ini berlangsung cukup lama dan membudaya yang merupakan dialektika masyarakat Jawa dengan berbagai pengaruh agama Islam. Pengaruh agama Islam dan kebudayaan Hindu-Budha pada awalnya terbatas di kalangan bangsawan. Lambat laun menyebar di kalangan masyarakat secara luas selama berabad-abad. Pada saat pengaruh agama Hindu-Buddha mulai surut, agama Islam datang dengan membawa pengaruh kebudayaan.

Pada masa Kerajaan Demak, karya sastra memiliki orientasi serta kecenderungan pada paradigma sejarah. Hal ini berbeda dengan karya sastra pada masa Kerajaan Mataram Islam yang lebih berorientasi pada paradigma mistik (Buchori, 2012). Menurut Abdul Jamil, di wilayah Kerajaan Pesisiran orientasi paham keagamaan lebih cenderung bersifat legalistik. Sedangkan, di wilayah pedalaman muncul mistik (Jamil, 2000). Munculnya sifat mistik di daerah pedalaman disebabkan di wilayah tersebut terjadi percampuran antara budaya Islam dengan budaya-budaya yang sudah ada sebelumnya, seperti Hindu dan Kejawen, yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat (Simuh, 1980).

Para penyebar agama Islam bukan hanya memberi kesempatan terhadap budaya yang sudah ada untuk tetap dilaksanakan oleh masyarakat, tetapi juga mengadopsi budaya setempat. Secara historis, masuknya Islam di Jawa serta munculnya naskah-naskah Jawa seperti wirid, primbon, suluk, niti, piwulang, menak, panji, babad adalah wujud dialektika nilai-nilai Islam yang dibawa para wali yang merupakan tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dan dekat dengan penguasa di tanah Jawa. Hal itu menimbulkan pergeseran paradigma keagamaan di Kasunanan Surakarta yang merupakan basis kebudayaan Jawa.

Peran Sunan dan para pujangga yang telah mendapat tempaan ajaran Islam melalui para wali atau guru pesantren berpengaruh besar pada terjadinya paradigma keagamaan yang dianutnya. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya perpaduan yang melahirkan peradaban Jawa Tengah yang berpusat di Istana Raja-raja Surakarta dan Yogyakarta. Peradaban ini secara umum disebut sebagai Kejawen (Mulder, 2001).

Kejawen sebenarnya adalah kepercayaan yang di dalamnya terdapat ajaran-ajaran tentang kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap mitos-mitos, yang dilambangkan dalam simbol[1]simbol. Ajaran-ajaran konsep Kejawen tersebut dijadikan pandangan atau filsafat hidup orang Jawa. Pandangan bahwa Jawa merupakan pandangan secara keseluruhan tentang realitas hidup empirik dipadu dengan religiusitas (Muslich, 2006).

Menurut catatan sejarah, di sekitar tahun 1700 Belanda-lah yang sesungguhnya berkuasa di Nusantara. Para raja memerintah tanpa kedaulatan, banyak di antara para pangeran dan orang terkemuka yang tidak sudi menyerah begitu saja dan berusaha terus untuk membebaskan diri dari tekanan kompeni (Soekmono, 1981). Keadaan sosial budaya yang demikian melandasi lahirnya karya-karya sastra Jawa yang masih mencerminkan kekentalan pemikiran khas Jawa.

Keadaan masyarakat Jawa digambarkan mempunyai sisi sifat budaya yang adaptif. Mitos, magis, religi, mistik, dan ilmu pengetahuan bercampur aduk dan hidup berdampingan dalam suasana damai di masyarakat Jawa. Kemudian, unsur-unsur tersebut saling mempengaruhi, dan akhirnya membentuk sebuah peradaban khas Jawa.

Ciri yang menonjol dari religiusitas Jawa adalah sinkretisme dan/atau akulturasi yang berdampak pada transformasi. Masuknya agama Hindu, Budha, Islam, Protestan, dan Katolik di Jawa memberikan pengaruh besar terhadap pemahaman keagamaan mereka sehingga terjadilah transformasi budaya dan agama. Berbagai kepercayaan pra-Islam, seperti kultus pusaka, kultus nenek moyang, mitos-mitos terhadap makhluk halus, dan upacara ritual pra-Islam merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari komunitas keraton.

Dengan adanya pengaruh besar dari berbagai macam agama yang datang di Jawa terjadilah pergeseran paradigma keagamaan bagi masyarakat Jawa. Pemujaan terhadap nenek moyang mengalami pergeseran menjadi penghormatan kepada nenek moyang. Sifat sinkretisme pada keadaan masyarakat Jawa dikenal dengan istilah agama Jawi.

Keraton Surakarta merupakan basis kebudayaan Jawa. Pada masa itu juga terjadi pergeseran paradigma keagamaan. Peran sunan dan para pujangga yang telah mendapat tempaan ajaran Islam melalui para wali atau guru pesantren berpengaruh besar pada terjadinya paradigma keagamaan yang dianutnya (Muslich, 2007). Namun demikian, masyarakat Jawa tetap mempunyai pandangan dunia yang disebut sebagai pandangan dunia Jawa.

Terkait dengan pandangan di atas, maka pusat perhatian kepustakaan Jawa Klasik abad ke-17 sampai abad ke-19 adalah adanya keakuan setiap manusia yang manunggal dengan dasar Ilahi dari mana ia berasal. Jika keadaan itu tercapai, pandangan dunia Jawa telah mencapai dimensi yang paling mendalam. (Suseno, 1996). Keadaan ini disebut sebagai manunggaling kawula Gusti.

Berdasarkan transformasi yang tampak pada teks-teks sastra Jawa Klasik, yakni karya sastra wulang dan primbon dapat dibedakan adanya transformasi eksplisit pada kata dan kalimat serta transformasi makna yang implisit. Dalam transformasi tergambar adanya adaptasi sekaligus kreativitas penciptanya. Pada Serat Kidungan Purwajati transformasi terlihat melalui untaian kata dan kalimat, dimana konsep Islam diadaptasi secara utuh dalam teks Jawa dengan pemaknaan yang dikreasikan dengan kebudayaan setempat yaitu kebudayaan Jawa. Bagaimana orang Jawa menggambarkan manusia harus paham tentang nabi-nabi dalam agama Islam dituliskan melalui bagian-bagian tubuh manusia yang disimbolkan sebagai nabi-nabi tertentu. Keistimewaan nabi-nabi dalam pemahaman Islam, digambarkan menjadi simbol peran penting dalam badan manusia.

Transformasi yang tampak pada Serat Wulang Dalem Warni-Warni dapat diketahui setelah pembaca dapat mengambil makna. Makna yang dibangun dari Serat tersebut adalah adanya konsep kekuasaan yang merupakan transformasi Islam Jawa. Transformasi tersebut menggambarkan bagaimana konsep-konsep untuk menjadi penguasa membutuhkan syarat dan kemampuan. Adapun syarat dan kemampuan tersebut berasal dari budaya Jawa yang berusaha diadaptasi dari Islam. Dengan adanya kenyataan teks tersebut, Islam dan Jawa adalah dua hal yang sulit dipisahkan. 

Prof. Dr. Sri Harti Widyastuti, M.Hum
Kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang sudah berusia sangat tua. Budaya tulis yang sering disebut sastra tulis sudah dimulai dari abad ke-7 dengan ditemukannya karya sastra berjudul Candakarana pada zaman Mataram Kuno. Masa tersebut disebut sebagai masa Jawa Kuno dalam arti masa berkembangnya sastra Jawa Kuno