Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menggelar konferensi internasional bertajuk “ICoE 2025: Education 5.0 – Humanizing Technology for Inclusive Learning”, yang berlangsung pada Kamis (4/12/25) secara hybrid di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY. Konferensi ini menghadirkan sejumlah pembicara internasional — termasuk Natan Derek, Ph.D. dari Stanford Medical University (AS) dan Prof. Angelo Mark P. Walag dari University of Science and Technology of Southern Philipina serta akademisi dari UNY, yaitu Prof. Dr. phil. Ir. Didik Hariyanto.
Ketua Panitia Konferensi Muslikhin, Ph.D mengatakan bahwa hari ini para peserta berkumpul bukan hanya sebagai para pendidik, peneliti, inovator, dan profesional, tetapi juga sebagai komunitas global yang disatukan oleh misi untuk memajukan pengetahuan, mendorong kolaborasi, dan merumuskan solusi bermakna bagi tantangan zaman. “Hal ini mencerminkan komitmen luar biasa terhadap keunggulan dan kemajuan. Melalui ceramah utama, diskusi panel, dan sesi teknis, saya percaya acara ini akan memantik gagasan-gagasan baru, memperkuat kemitraan, dan membuka jalur baru bagi penelitian dan pengembangan pendidikan di masa depan” kata Muslikhin. Kegiatan ini diikuti oleh 597 peserta. Dari jumlah tersebut, 150 peserta hadir secara langsung di ruangan ini, sementara peserta lainnya bergabung melalui platform Zoom. Luaran seminar ini mencakup 82% (delapan puluh dua persen) prosiding dan 18% (delapan belas persen) artikel yang akan diterbitkan di jurnal terindeks SINTA.
Kegiatan dibuka oleh Wakil Rektor Bidang Akademik UNY, Prof. Nur Hidayanto Pancoro Setyo Putro, mewakili Rektor. ICoE 2025 merupakan langkah strategis UNY dalam merespons dinamika pendidikan global dan perkembangan teknologi. Ia menegaskan, “ICoE 2025 bukan sekadar konferensi — ini wadah kolaborasi internasional untuk mengeksplorasi cara-cara inovatif menghadirkan pendidikan yang inklusif, relevan, dan adaptif terhadap perubahan zaman” katanya.
Prof. Angelo Mark P. Walag menyatakan, transformasi pembelajaran perlu dilakukan karena karakter dan cara belajar generasi kini telah berubah, sehingga strategi mengajar harus lebih aktif, kolaboratif, dan berbasis teknologi. Berbagai riset menegaskan efektivitas active learning, flipped learning, PBL, gamifikasi, serta asesmen autentik dalam meningkatkan pemahaman dan motivasi. “Teknologi berperan sebagai penguat proses belajar melalui konten singkat, interaktivitas, dan analitik pembelajaran. Namun, inovasi tidak sekadar menambah perangkat digital, melainkan mendesain pengalaman belajar yang relevan, humanis, kontekstual, dan berpihak pada kebutuhan mahasiswa” ungkapnya. Pendidikan masa depan harus bersifat adaptif, bermakna, dan tetap menempatkan kemanusiaan sebagai pusatnya. Inovasi pendidikan menuntut dosen untuk lebih reflektif terhadap praktik mengajar yang selama ini digunakan. Ketika strategi tradisional tidak lagi sejalan dengan realitas belajar mahasiswa, saat itulah pembaruan perlu dilakukan.
Sementara itu Prof. Didik Hariyanto memaparkan tentang adaptive e-learning yang dikembangkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui personalisasi berdasarkan gaya belajar dan tingkat pengetahuan awal mahasiswa. Sistem ini merespons perbedaan individu dengan menyesuaikan penyajian materi, navigasi, media pembelajaran, serta jalur belajar. Adaptasi dilakukan melalui empat aspek utama: presentasi konten, dukungan navigasi, gaya belajar (aktif–reflektif, sensing–intuitive, visual–verbal, sequential–global), dan hasil pre-test sebagai penentu akses unit materi. Antarmuka dirancang fleksibel sehingga tampilan, konten, dan struktur navigasi berubah otomatis sesuai kebutuhan pengguna. Hasil uji fungsional menunjukkan sistem bekerja adaptif seperti yang dirancang, sementara uji statistik (N-Gain) membuktikan adanya perbedaan signifikan antara kelompok eksperimen dan kontrol. “Kesimpulannya, adaptive e-learning mampu menghadirkan pengalaman belajar yang lebih personal, inklusif, dan efektif dalam meningkatkan capaian pengetahuan, pemahaman, serta aplikasi konsep” tutur Didik.
English