DIMENSI MANUSIA DALAM PERKEMBANGAN BUDAYA DIGITAL

Sejarah mencatat kebudayaan berlari cepat jauh melampaui kemampuan manusia pada umumnya. Kuda hitam dari penjelajahan panjang itu selalu sama yaitu lompatan produk ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan oleh menusia sepanjang zaman. Satu juta tahun yang lalu manusia menemukan pijar api. Sejak itu pulalah sejarah kebudayaan terbaca jelas hingga datangnya momentum penting revolusi neolitik sebagai titik balik peradaban manusia mengubah dan memberi arah kehidupan. Peradaban terus berkembang, terlebih perkembangan pemikirannya hingga melahirkan bentuk perilaku hidup, sifat hubungan kategorial, dan perubahan semesta simbolis kebudayaan baru. Ragam pemikiran manusia itu berpengaruh terhadap kondisi lembaga sosial serta karakteristik simbol yang muncul, sistem norma yang terbentuk, perilaku sosial, dan ragam pemakaian bahasa. Kelima unsur ini sering menjadi dasar penyusunan sejarah perkembangan ilmu dan pengetahuan beserta produk teknologinya. Malah, dapat pula dimanfaatkan untuk memprediksi masa depan dan horizon harapan manusia secara diakronis.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan konskuensi upaya manusia memahami semesta raya yang diekspresikan melalui bahasa. Bahasa dapat mengambil posisi strategis pada setiap dekade zaman berdasarkan perubahan simbol dan norma budaya yang dinamis. Pemanfaatan potensi bahasa –dari wujudnya yang arkhais, normatis, hingga permainan kode bahasa biner serta instruksi bahasa mesin– telah menggiring hasrat manusia semakin yakin bahwa pengembangan teknologi canggih merupakan “satu-satunya” jalan merawat zaman karena mempermudah kehidupan manusia, meningkatkan kualitas hidup, menjamin sistem kerja mesin yang mampu bekerja secara cepat dan akurat secara digital. Masih hangat ingatan kita, tragedi pandemic covid-19 tahun 2019 s.d. 2021, teknologi digital digdaya sebagai media komunikasi dan informasi yang aman, efektif dan efisien. Namun disadari pula adanya residu sebagai sumber trauma yang membahayakan tanpa adanya kontrol, porsi berimbang, dan kepentingan. Tayangan vulgar tentang keperihan sepihak begitu massif justru menjadi sumber trauma dalam situasi kontak antarmanusia yang nyaris hilang.

Memasuki era budaya digital (cybernetic virtual era) muncul simbol baru yang mencengangkan, yaitu Artificial intelligence (Kecerdasan Artifisial/KA). KA adalah realisasi proses komodifikasi aksentuatif manusia yang memiliki kemampuan belajar cepat menggambar fantasi dan khayalan, serta memahat sejarahnya sendiri di dalam semesta “baru”. Kemampuan manusia mencipta perangkat KA terus berkembang menciptakan robot cerdas, super computer, dan berbagai software canggih yang melayani kebutuhan manusia secara baik. Teramalkan akan terus melaju hingga masalah biologis yang menjadi kebutuhan fundamental manusia. Tak pelak, negara pesohor teknologi modern seperti Jepang saat ini mengalami krisis populasi dan resesi seks yang memprihatinkan. Perkawinan sebagai bentuk pengembangan mahligai rumah tangga dianggap tidak menguntungkan, pemborosan, dan primitive. Manusia terjebak dalam permainannya sendiri (soliter impersonal) dan dengan sadar merongrong nilai “humanitat” yang menjadi kodrat alamiah. Dimensi manusiaminus grêgêt rasa berujung menjadi tubuh organis yang tercerai dari naluri cinta dan kasih sayang. Lalu, manusia menjadi deret algoritma yang dingin dan kaku, sendiri dalam gerusan kesepian dan keterasingan di tengah hiruk pikuk pengembaraan logika mekanistis yang takberujung dan bertepi. Bukankah ini jalan lempang gejala pengambilalihan sistem pewarisan budaya dari manusia ke mesin?

Dewasa ini telah berkembang konsep Pemikiran Holistic antara sains dan Seni yang dibangun oleh tiga anggapan dasar, yaitu (1) eksploratif, menjawab dan melanjutkan saja tidak cukup. (2) Perspektif, kemampuan melihat dari sudut berbeda dan cermat. (3) Skala, mempertimbangkan gambaran besar menyeluruh. Pemikiran ini telah berhasil menemukan karakteristik pemikiran baru yaitu: rasional-intuitif, rasional-emosional-intuitif, dan filosofis-estetis. Tidak mengherankan jika teknologi digital (robotic, komputeristic, software, dll.) mampu meniru fungsi kognitif manusia: dapat mengenali lingkungan, bahasa (Syntax & Semantic) pola, keputusan, dan system belajar mesin (Machine Learning System).

Tidak hanya sampai di situ, para ilmuan digital kemudian berlomba-lomba membuat Metode Pembelajaran Digital yang multy function, yaitu teknologi Natural Language Processing (NLP) yang dapat memahami teks atau pesan secara syntax dan semantiknya. Pemrosesan komputer telah dapat mengetahui keadaan emosional pengguna melalui deep learning berbasis pangkalan data yang tersedia. Data yang mencukupi mampu meraba 11 bidang teknologi (smart assistant, sentiment analysis, chatbots, language translation, dsb). Semakin besar pangkalan datanya, maka pemanfaatan akan semakin luas dan semakin menjadi habit generasi. Komunikasi manusia dengan mesin digital menempatkan fungsi digital secara substantif lebih sekedar sarana (services), bahkan terjadi “saling pinjam” manusia dari manusia (H – H), Manusia dari computer (H – AI), dan Komputer dari manusia (AI – H). Realitas ini menggiring terjadinya perubahan paradigma & orientasi kehidupan, dari “system control ahli” menjadi “buku reverensi universal ttg makna abadi”, di sisi yang sama Kecerdasan Artifisial cenderung semakin menentukan dan mengendalikan berbagai sendi kehidupan.

Big Data seakan menjadi symbol kekuatan teknologi digital dan mejadi dasar penarikan kebenaran dan klaim pengalaman manusia. Jika demikian, maka konstruk pengetahuan semacam itu sungguh terbuka untuk dikritisi karena memperkuat kekawatiran akan terjadinya marginalisasi dan pengasingan (seni) budaya warisan hanya karena alasan taksonomik saja (identifikasi, tatanama, klasifikasi, kategorisasi, dan fenomena). Pada konteks kehidupan yang terus bergerak dan membentuk tema baru, mungkinkah kita tetap memilih sebagai single truth?

E + A = MHB

Huruf E berarti Erabi adalah gagasan bahwa manusia bebas memanipulasi lingkungannya sesuai rencana dan kehendak yang disusun secara logis/jelas dengan konsep dan lawanannya (opponent) sebagai simbol Negara Barat. Erabi adalah logika dalam memilih yang terbaik dari serangkaian pilihan yang ada (dichotomy). Sedangkan huruf A berarti Awase, gagasan yang menolak konsep Erabi dan sebagai gantinya manusia harus mampu beradaptasi, memahami gradasi perubahan, dan mengambil sikap yang patut dan pasti, sebagai symbol Negara Timur. Erabi dan Awase itu muncul sebagai reaksi bangsa Jepang atas hegemoni Barat hingga membentuk “tandingan Barat” sebagai mitos pembebasan (sasshi ga hayai ‘menangkap lebih cepat’). MHB berarti Memayu Hayuning Bawana ‘mempercantik keindahan alam semesta’ –hemat saya– merupakan muara penggabungan dari Erabi dan Awase. MHB adalah upaya mengisi jarak antara manusia dengan dirinya (badan dan roh) secara horizontal dan dengan jagad gedhe dan Jagad cilik berlandaskan nilai-nilai Ilahiah (transcendent). E + A = MHB adalah refleksi kritis filosofis-fungsional terhadap berbagai gejala dan fenomena yang mengarah pada penataan eksistensi manusia secara micro-macro cosmos. MHB adalah pemahaman multidimenaional yang luwes, memberi ruang seluas-luasnya atas tafsir yang independent. Pada konteks Indonesia, MHB memandang kebudayaan sebagai sistem nilai berdasarkan segala sesuatu yang dianggap baik atau buruk berdasar norma yang berlaku di masyarakat sebagai ketahanan kelembagaan, fisik, sikap mental, system, fungsi, dan kelenturan menghadapi perubahan.

Berdasarkan paparan ini, dapatlah disimpulkan bahwa daya tahan bahasa, seni, dan budaya dalam konteks budaya digital-global harus tetap ada di dalam rengkuhan spirit dan cinta kasih manusia. Pada tataran praksis kehidupan, kemampuan adaptif sangat diperlukan, dengan cara: 1. Optimalisasi penyelenggaran event kebudayaan dan ruang diskusi digital di tengah perubahan pola pikir, sikap, dan perilaku masyarakat. 2. Optimalisasi sarana dan prasarana Digital Technology dan Pengembangan networking lokal, nasional, & Global untuk pengembangan kebudayaan pada kancah baru Kecerdasan Artifisial. 3. Maksimalisasi packaging produk kebudayaan untuk lintas generasi (X, Y, Z, & A) mengikuti pola konsumsi media saat ini, Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR) 4. Peningkatan Keberdayaan Kelompok Seni, baik dalam ranah Lembaga Pendidikan Formal, Informal, dan Non-Formal, For-Kom, dan Komunitas Seni. 5. Optimalisasi sistem jaminan Kesejahteraan sosial pekerja seni, terutama perhatian untuk para seniman yang mulai kurang produktif/lanjut usia 6. Optimalisasi pelatihan Digital Tech untuk para pekerja kebudayaan, khususnya Artificial Intelligent, Maching learning, dan learning Machine berbasis tradisi dan kesenian Jawa yang SOEGIH.

Kita bersama dapat mengira bahwa penguatan dimensi manusia dalam perkembangan budaya digital memiliki pengaruh pada bidang-bidang strategis. (1) Sistem Sosial: Mendorong masyarakat untuk menemukan kembali dan mengekalkan nilai-nilai murni bangsa sebagai horizon baru; (2) Sistem Pendidikan: Mengintegrasikan potensi kebudayaan dan Teknologi Informasi (Digital) serta eksplorasi kearifan tradisi dalam Pendidikan; (3) Kerangka Kelembagaan dan Ekonomi; Mengangkat derajat mikro & makro ekonomi, penciptaan lapangan kerja baru, dan kesejahteraan yang bersandar pada prinsip sehat, aman, kreatif, dan inovatif; dan (4) Identitas Budaya; Membuka akses & mengangkat seni dan tradisi budaya menjadi salah satu penciri kebudayaan nasional di tengah tumbuhnya skenario baru peradaban.

Prof. Sahid Teguh Widodo, Ph.D
Sejarah mencatat kebudayaan berlari cepat jauh melampoi kemampuan manusia pada umumnya. Kuda hitam dari penjelajahan panjang itu selalu sama yaitu lompatan produk ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan oleh menusia sepanjang zaman. Satu juta tahun yang lalu manusia menemukan pijar api. Sejak itu pulalah sejarah kebudayaan terbaca jelas hingga datangnya momentum penting revolusi neolitik sebagai titik balik peradaban manusia mengubah dan memberi arah kehidupan.