PENGUATAN LPTK SEBAGAI PENYELENGGARA PENDIDIKAN PROFESI GURU

Persoalan guru hingga kini tentu masih belum tuntas. Pasca Reformasi  1998, ketika desentra­lisasi pemerintahan hadir, termasuk hadirnya desentralisasi guru, pemerintah dan masyarakat berpikir seolah-olah persoalan guru tuntas dan lebih membaik. Nyatanya, posisi guru sungguh problematis. Satu sisi “diharuskan” untuk profesional, namun di saat bersamaan guru terjebak pada politik praktis. Mereka dijadikan tim sukses penguasa lokal yang ingin kembali bertarung di Pilkada. Bagi guru yang menolak menjadi tim sukses, siap-siap dimutasi di daerah terpencil, terlebih jika sang penguasa lokal kembali berkuasa. Namun jika penguasa lokal tersebut kalah, maka guru yang menjadi tim suksesnya juga siap-siap untuk dimutasi di tempat yang terpencil oleh pemenang Pilkada.

Hadirnya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai revisi atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tetap saja belum menyelesaikan problematika guru. Toh nyatanya saat Pilkada provinsi berlangsung, para guru-guru pendidikan menengah dan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) tetap berpotensi menjadi tim sukses sebagaimana Pilkada kabupaten/kota. Bedanya, mereka berada pada kendali penguasa pemerintah provinsi yang sedang bertarung.

Isu hangat ini turut hadir dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (Konaspi) VIII tahun 2016 yang diselenggarakan pada tanggal 12-15 Oktober 2016 di Jakarta. Namun yang tak kalah hangatnya adalah isu arah kebijakan pendidikan guru di Indonesia. Secara umum terdapat delapan isu yang dibahas, pertama, standarisasi kelembagaan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK); kedua, sistem rekrutmen mahasiswa LPTK; ketiga, sistem pendidikan guru berasrama dan berikatan dinas; keempat, kurikulum dan sistem pembelajaran LPTK; kelima, standar mutu dan profesionali; keenam, sistem penganggkatan dan distribusi guru; ketujuh, standarisasi pendidikan PAUD dan Dikdasmen; dan kedelapan, pendidikan guru dan peradaban bangsa.

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia merupakan wahana akademik kaum pendidik Indonesia dalam upaya memberikan sumbangsih pemikiran bagi pembangunan manusia  seutuhnya. Konaspi VIII sendiri merupakan tindak lanjut dari Konaspi VII di Yogyakarta tahun 2012. Saat itu, Konaspi VII menghasilkan Deklarasi Yogyakarta, yang menetapkan bahwa manusia Indonesia Generasi Emas 2045 adalah manusia yang berjiwa Pancasila, yang memiliki kecakapan global dan futuristik yang dapat memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertumpu pada nilai-nilai kultural dan nasionalisme, serta memberikan kemaslahatan bagi umat manusia.

Salah satu unsur terpenting dalam mengejewantahkan Deklarasi Yogyakarta adalah penguatan LPTK sebagai penyelenggara pendidikan profesi guru. Mengapa hal ini menjadi penting? Karena LPTK sebagai penyelenggara pendidikan profesi guru memiliki peran strategis dalam mencetak guru profesional termasuk sikap para guru dalam menyikapi masalah politik nasional dan lokal. Jika LPTK sukses mendidik guru sebagai profesi profesional, maka godaan politik praktis sebagaimana saya uraikan di atas akan bisa diminimalisir. Tentu tak mudah, namun sikap guru yang profesional membuat pejabat lokal untuk tidak menarik-narik guru dalam kepentingan jangka pendek. Bukankah sikap profesionalisme guru juga sudah dibuktikan dalam beberapa Pilkada, termasuk Pilkada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta? Lantas mengapa kita belum berani menjadi guru profesional?

Untuk menguatkan peran LPTK sebagai institusi pencetak profesi guru, ada beberapa hal yang bisa dilakukan,  pertama, revitalisasi rekruitmen mahasiswa. Hal ini diawali dengan pembuatan instrumen untuk tes bakat, minat, watak dan kepribadian calon mahasiswa. Kedua, revitalisasi kurikulum. Kurikulum yang ada di LPTK harus disesuaikan dengan kebuhan dunia pendidikan saat ini. Teknologi dan inovasi pembelajaran kekinian menjadi hal yang tak bisa dielakkan. Ketiga, sinkronisasi LPTK dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Sebagai user,  Kemdikbud sangat paham betul apa kebutuhan guru di lapangan. LPTK sudah sepantasnya membangun komunikasi yang intens terutama terkait kebutuhan pembelajaran guru dan tantangan yang dihadapi guru, terutama di daerah-daerah 3 T (Terluar, Terdepan, dan Terpinggir).

Keempat, optimalisasi laboratorium pembelajaran. Pembelajaran yang kreatif dan inovatif hanya bisa dilakukan ketika guru-guru memiliki kebiasaan mengajar yang kreatif dan inovatif sejak kuliah. Kelima, penyediaan Klinik Pembelajaran. Klinik ini menjadi tempat konsultasi guru-guru yang mengalami kesulitan dalam pembelajaran. Keenam, memperbaiki sistem penjaminan mutu di LPTK melalui lembaga penjaminan mutu di masing-masing LPTK dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Guru (SNPG). Saat ini Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) sedang melakukan finalisasi Standar Nasional Pendidikan Guru.

Satu hal yang pasti bahwa revitalisasi dan penguatan LPTK bukanlah pekerjaan mudah dan tidak serta merta langsung menyelesaikan persoalan guru. Kerjasama antara stakeholder terkait menjadi hal yang tak bisa diabaikan. Meski membutuhkan proses panjang, tapi keinginan untuk memulai revitalisasi dan penguatan LPTK dari sekarang, jauh lebih baik bagi masa depan guru Indonesia, yakni Guru yang profesional, jauh dari kepentingan politik jangka pendek. Semoga!

 

Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd., Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, Sekretaris Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa), Kemristekdikti.

Artikel dimuat di Kedaulatan Rakyat 29 Desember 2016 

PROF. DR. SUTRISNA WIBAWA, M.PD.
PROF. DR. SUTRISNA WIBAWA, M.PD.