Masker Nanofiber Dari Limbah Ampas Tebu

2
min read
A- A+
read

Prototype masker nanofiber

Aktivitas gunung api di Indonesia yang belum stabil, seperti adanya erupsi seringkali disertai dengan munculnya abu vulkanik yang menyebabkan penurunan kualitas udara di area sekitar gunung. Penurunan kualitas udara oleh abu vulkanik disebabkan oleh adanya kandungan gas-gas kimia seperti CO, NO2, dan SO2, sehingga apabila terlalu lama terpapar abu vulkanik salah satu akibatnya adalah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Untuk mengurangi paparan abu vulkanik, masyarakat di sekitar gunung api umumnya menggunakan masker salah satunya masker N95. Namun ternyata masker N95 masih belum efektif dalam menyaring debu vulkanik karena masker N95 hanya mampu menyaring debu dengan ukuran 300 nm. Oleh sebab itu masih diperlukan pengembangan masker dengan ukuran pori kurang dari 300 nm agar lebih efektif dalam menyaring debu vulkanik. Selain itu, kandungan polimer berbahan plastik dalam masker N95 menyebabkan masker sulit terdegradasi dalam tanah. Penumpukan limbah masker medis berpotensi menjadi sumber mikroplastik baru. Untuk itu diperlukan pengembangan masker dari polimer yang mudah terbiodegradasi. Inilah yang dilakukan sekelompok mahasiswa UNY dengan mengembangkan masker nano fiber ramah lingkungan. Uniknya mereka memanfaatkan limbah ampas tebu dengan metode enzimatik. Para mahasiswa itu adalah Siti Mustika Ayu, Inten Widyaningrum dan Dayu Arinda prodi kimia serta Intan Tri Wahyuni dan Keysa Havida Nugraha prodi pendidikan biologi.

Menurut Siti Mustika Ayu penggunaan limbah ampas tebu tersebut karena jika tidak diolah dengan benar dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Setiap 1 ton tanaman tebu, akan menghasilkan 100 kg ampas tebu kering yang mengandung kadar selulosa 40%” katanya. Kandungan selulosa dalam ampas tebu dapat dimanfaatkan untuk pembuatan nanofiber. Nanofiber yang memiliki ukuran permukaan dengan dimensi antara 1-100 nm dapat dijadikan alternatif untuk menyaring debu vulkanik.  Inten Widyaningrum menambahkan nanofiber dapat dibuat dari selulosa yang berasal dari dinding sel tumbuhan yang diekstraksi menghasilkan serat berukuran nano. “Dalam mengubah selulosa menjadi nanoselulosa dapat menggunakan perlakuan awal dengan alkali, kemudian diikuti dengan hidrolisis enzimatik untuk menghilangkan lignin dan membatasi degradasi karbohidrat dibandingkan dengan metode kimia lainnya” ungkap Inten.

Keysa Havida Nugraha menjelaskan ujicoba pembuatan masker ini dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA UNY untuk prosedur perlakuan awal dan metode enzimatik, serta riset secara mandiri yang dilakukan di Bantul untuk karakterisasi biodegradasi nanofiber. Bahan yang digunakan adalah ampas tebu, KOH, air deionisasi, buffer asetat, xilanase, tissue, koran bekas, alkohol 70%, etanol, tanah, dan kain kasa. Alat yang dipakai adalah SEM (Scanning Electron Microscopy), FTIR (Fourier Transformed Infrared Spectroscopy), sentrifugasi, blender, ayakan 150 mesh, hot plate dan magnetic stirrer, penangas, termometer, stopwatch, neraca analitik, keranjang, beaker glass, labu takar, set peralatan refluks, botol flakon, erlenmeyer, loyang, gelas arloji, tabung reaksi, gelas ukur, pipet tetes, pengaduk, dan spatula. Langkah pertama ampas tebu dibersihkan dari kotoran dengan menggunakan alkohol. Selanjutnya, mengeringkan ampas tebu pada oven pada suhu 60°C selama 24 jam. Ampas tebu yang telah kering diayak menggunakan ayakan 150 mesh. Kemudian, serat ampas tebu didelignifikasi dengan KOH 5% 1:20 (ampas tebu : larutan). Pada tahap ini, dihasilkan selulosa kemudian dicuci hingga netral dan dikeringkan dengan penyaring buchner. Kemudian ampas tebu pada konsentrasi 25% b/v ditambahkan ke buffer asetat dengan pH 6. Enzim xilanase sebanyak 35,24 mg dilarutkan kedalam 70 mL, kemudian setiap 1 menit ditetesi 1 mL larutan xilanase. Campuran diaduk pada suhu 45°C yang divariasikan selama 12 jam, 24 jam, dan 48 jam menggunakan hot plate. Setelah itu, suspensi dikenakan penangas termostatik yang diatur ke 80°C selama 30 menit, untuk mendenaturasi enzim. Pulp yang tersisa dicuci dengan air deionisasi dan dipisahkan dengan sentrifugasi berkecepatan 300 rpm selama 15 menit. Nanofiber ampas tebu dihidrolisis dengan metode enzimatik menggunakan enzim xilanase dengan variasi waktu 12 jam, 24 jam, dan 48 jam. Setelah diberi perlakuan enzimatis, enzim secara efisien dapat menghidrolisis hemiselulosa, memecah struktur serat dan membelah ikatan sehingga terbentuk serat nano, dengan diameter 31.0 ± 10.0 nm. Penyaringan debu vulkanik dengan masker berbahan dasar nanofiber selulosa dari ampas tebu melalui metode enzimatik memiliki diameter 31.0 ± 10.0 nm akan lebih efektif dalam menyaring debu vulkanik berskala 2µm-300µm. Keysa menyarankan agar pada penelitian selanjutnya untuk melakukan realisasi pengimplementasian nanofiber selulosa ampas tebu sebagai produk masker agar mendapatkan hasil yang maksimal. “Diperlukan penelitian lanjutan berupa uji aktivitas antimikroba pada produk nanofiber selulosa ampas tebu agar didapatkan produk masker yang baik” tutupnya. Ini merupakan salah satu upaya UNY dalam agenda pembangunan berkelanjutan pada bidang pendidikan bermutu dan kesehatan. (Dedy)