PENGUKUHAN GURU BESAR BIDANG PENGKAJIAN SENI RUPA MODERN

PENGUKUHAN GURU BESAR BIDANG PENGKAJIAN SENI RUPA MODERN

Identitas seni dan budaya keindonesiaan merupakan suatu yang amat penting bahkan menjadi keniscayaan. Namun yang perlu ditegaskan bahwa dalam pemaknaan identitas memang selalu berada dalam bingkai format proses menjadi, sehingga selalu memerlukan pengupayaan terus-menerus tiada henti. Dalam  rangka  proses  pengupayaan  identitas  itulah,  pertemuan dengan entitas identitas-identias lain, apalagi dalam konteks di era global ini, adalah juga keniscayaan lain yang tak bisa dihindari. Yang menjadi catatan  kemudian  adalah,  bahwa  sejauh  dan  sekompleks  apapun, perjumpaan dengan yang lain itu, mestinya jangan sampai mendestruksi diri. Dalam ungkapan Jawa diistilahkan kata-kata ngèli hananging ora kèli, agar diri ini jangan sampai kehilangan orientasi sangkan paraning dumadi. Maka dari itu setiap perjumpaan dengan kebudayaan, termasuk dengan Barat, semestinya bukan berdampak menghilangkan eksistensi dan identitas seni maupun kultural keindonesiaan, melainkan justru lebih mampu memperkaya. Karena memang secara eksistensial setiap teks kebudayaan baik Barat maupun Timur,  senantiasa menggendong potensi kesejatian baik kelebihan maupun kekurangan. Tinggal bagaimana bangsa ini mampu manjing sakjroing kahanan. Demikian dikatakan Prof. Dr. Kasiyan, M.Hum dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Pengkajian Seni Rupa Modern pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Pidato berjudul “Seni, Identitas, dan Postkolonialitas” itu dibacakan dihadapan rapat terbuka Senat di Auditorium UNY, Sabtu (18/7). Kasiyan adalah guru besar UNY ke-155.

Pria kelahiran Ponorogo, 5 Juni 1968 tersebut mengatakan, salah satu alasan yang dianggap mendasar ketika seni layak diperhitungkan di sepanjang sejarah peradaban, di antaranya adalah dikarenakan potensi dayanya yang secara relatif mampu berperan sebagai apa yang diistilahkan sastrawan Si Burung Merak, Willibrordus Surendra Broto Rendra sebagai rumah “kesaksian”, jalan keberpihakan bagi harapan akan keterjagaan kehidupan. Peran mulia itu, dijalankan seni terutama ketika mendengar suara, jerit makhluk terluka, dan ketika hidup yang layak harus dibela. Demikianlah peneguhan Rendra, sebagaimana dijadikan syair lagu group Kantata Takwa. Dalam konteks keberpihakan atau pembelaannya terhadap kehidupan inilah, karenanya posisi dan peran strategis seni secara signifikan, sebagaimana ditegaskan Guru Besar FBS UNY, Suminto A. Sayuti yakni sebagai jalan pemberadaban dan pemanusiaan. Gagasan seperti itu, sangat mungkin secara cepat akan segera dianggap sebagai hal yang bermasalah dan bahkan mungkin naif berlebihan. Terutama ketika ditempatkan dalam konteks diskursus peradaban modern, yang memang semestanya cenderung dikelola dengan mainstream logosentrisme yang berbasiskan rasionalitas-objektif, yang berbeda dengan seni, yang berada dalam aras intuisi dan emosionalitas-subjektif. Dua kutub oposisi, yang entitasnya amat muskil untuk disatukan dalam damai.

Doktor bidang Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa di UGM tersebut memaparkan, Pelbagai persoalan identitas keindonesiaan, terutama dalam kait kelindannya dengan beban poskolonial, pemaknaannya secara komprehensif juga dapat didasarkan melalui paradigma yang ada dalam seni yang dimiliki oleh bangsa ini. Sebab seni bisa sebagai salah satu bukti otentik tentang pemaknaan sebuah kebudayaan yang tak terkatakan. Berkaca dari pemikiran inilah, pemahaman tentang identitas sebuah bangsa misalnya, juga dapat dilihat melalui pantulan identitas seni yang dimilikinya. Persoalan hegemoni Barat di Indonesia sangat sulit dipecahkan, sebab telah terjadi sangat panjang bahkan sejak bangsa ini masih berada di masa kolonisasi Hindia Belanda. Hal yang sama juga terjadi pada seni rupanya. Pengaruh Barat di era sebelum kemerdekaan terjadi sejak periode perintis, Mooi Indië, dan Persagi. Sementara ketika di zaman pascakemerdekaan, pengaruh Barat didominasi melalui infrastruktur kuncinya yakni pranata keilmuan.

Warga Demangan Maguwoharjo Depok Sleman tersebut menyebutkan, dalam konteks yang lebih luas sebagai bangsa, juga sama, Indonesia kini sudah kehilangan keindonesiaannya, termasuk juga keseniannya. Ketika Barat ada yang mengandaikan sebagai “sumur susu peradaban”, dan sebaliknya Timur, sebagai “sumur madu peradaban”, maka perjumpaan dialektis keduanya, kiranya dapat dinisbatkan sebagai tesis baru tentang potensi simbiosis mutualisme yang sempurna. Dengan harapan hasilnya adalah, sebuah peradaban yang bukan hanya mengandaikan utuhnya kehadiran “kebenaran” karena disokong kuat oleh kekuatan nalar dan logika, melainkan melampaui itu adalah juga bersemayamnya pesona nilai-nilai “kebaikan” dan “keindahan” karena di dalamnya juga ada kepenuhan domain intuisi dan rasa. Sebuah gugusan gagasan, yang kiranya layak untuk diimperatifkan dalam keseluruhan praksis kesadaran berperadaban, baik kini maupun terutama di masa mendatang. Demi merawat harapan keyakinan bahwa sesungguhnya ilmu dan seni itu secara bersama-sama tetap menjadi jalan terbaik bagi jihad pemberadaban dan pemanusiaan. (Dedy)