PENDIDIKAN JASMANI UNTUK KESIAPSIAGAAN DAN KETANGGUHAN SPIRITUAL ANAK

Spiritual merupakan aspek penting dan sensitif dari kehidupan yang membutuhkan waktu dan kebijakan untuk melibatkan anak-anak dalam eksplorasinya (Bullock, Nadeau, & Renaud, 2012). Spiritual adalah pandangan kekuatan, kekuatan, energi, atau rasa Tuhan senantiasa menyertai, baik yang didasarkan agama (religion) maupun tanpa agama (Dillon & Tait, 2000; Hilty, 2016). Lebih lanjut, hubungan antara spiritual dan agama merupakan dasar spiritual seseorang, dan spiritual seseorang dapat tumbuh tanpa agama yang mendasarinya (Anderson, 2007; Parsian & Dunning, 2009; Hurych, 2011). Spiritual adalah proses kehidupan dasar, keterlibatan sukacita, penyamaran, cinta, dan hubungan dengan diri sendiri dan alam (Lodewyk, Lu, & Kentel, 2009). Spiritual mengacu pada pengalaman pribadi atau realitas yang tidak selalu berhubungan secara kelembagaan (Dew et al., 2010). Spiritual berfokus pada rasa, kemewahan, dan rekonsiliasi, yang membantu individu mengubah kondisinya dan membangun konsep diri baru (Parsian & Dunning, 2009).

Hubungan antara spiritual, kesehatan, dan kesejahteraan telah dilaporkan dalam berbagai penelitian. Hubungan antara spiritual dan kesehatan secara keseluruhan telah dilaporkan dalam literatur penelitian (Udermann, 2000). Hernandez (2011) menemukan bahwa spiritual mempengaruhi kesehatan dan peningkatan kesehatan orang dewasa. Spiritual merupakan dimensi fundamental penting dari pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan yang disebut dengan kesehatan spiritual (Anderson, 2007). Hurych (2011) menunjukkan bahwa spiritual adalah kekuatan pendorong yang timbul pada aspek kompetitif atau kesehatan. Menurut Islam, seorang Muslim yang baik menikmati kesehatan dan kebugaran yang baik (Wabuyabo, Wamukoya, & Bulinda, 2015). Demikian pula, spiritual dan olahraga memiliki hubungan dengan berbagai aspek kehidupan manusia. Olahraga dan meditasi yang terfokus pada pikiran, tubuh, dan perhatian adalah aspek penting kehidupan religius atau spiritual (Hilty, 2016). Olahraga dapat mengembangkan sikap religius yang didasarkan pada rasa saling menghormati dan mengatasi perbedaan yang diakui (Jirásek, 2015). Parry (2007) melaporkan bahwa ada hubungan antara banyak aspek olahraga dan spiritual, seperti kesehatan dan kesejahteraan, pengembangan etis, dan semangat permainan. Nilai-nilai agama, praktik, dan ritual sering muncul dalam konteks olahraga (Obare, 2000; Jirásek, 2015). Amara (2013) melaporkan juga bahwa adanya hubungan antara olahraga dan spiritual dalam program yang melibatkan kelompok minoritas agama sebagai pembawa acara olahraga nasional.

Spiritual memiliki indikator dan hasil yang jelas dan merupakan bagian penting dari kurikulum pendidikan, terutama untuk kesehatan dan kesejahteraan yang dicapai melalui hubungan yang mendalam dengan orang lain, alam, dan pengalaman (Anderson, 2007). Spiritual merupakan dimensi pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan yang telah digabungkan dalam kurikulum dan pedagogi yang berorientasi holistik secara jelas dan terbuka, untuk mengintegrasikan orientasi gerak dan keseimbangan budaya dan meningkatkan kesadaran spiritual siswa (Lodewyk, Lu, & Kentel, 2009). Pendidikan jasmani dan kesehatan juga memberi banyak kesempatan bagi anak-anak untuk memiliki pengalaman spiritual melalui pelaksanaan aktivitas jasmani reguler dalam setiap pelajaran (Lynch, 2013). Selanjutnya, Lodewyk, Lu, dan Kentel (2009) menyatakan bahwa pengembangan spiritual siswa dapat dipromosikan melalui partisipasi dalam aktivitas fisik, permainan, budaya tradisional, dan musik untuk membantu mereka menjadi lebih rileks, kreatif, termotivasi, dan mampu berinteraksi satu sama lain. Sejalan dengan itu, penelitian Jirásek (2015) berfokus pada penggunaan konsep kesehatan spiritual dalam pendidikan jasmani dengan eksistensi karakteristik penting, hubungan, realitas dan tujuan hidup, dan perubahan. Anderson (2007) menyarankan cara praktis untuk memasukkan nilai spiritual dalam pendidikan jasmani dan olahraga, seperti; menjelaskan berbagai gerakan aktivitas fisik, menggambarkan tindakan kepahlawanan dalam dunia olahraga, membicarakan manfaat olahraga, memotivasi siswa untuk melakukan tindakan yang baik selama aktivitas jasmani atau olahraga, dan mendiskusikan isu-isu yang menyentuh hati siswa yang menginspirasi perbuatan baik bagi orang lain.

Pendidikan jasmani dan olahraga secara signifikan meningkatkan religiusitas dan spiritualitas anak-anak (Nopembri, Saryono, & Rithaudin, Sugiyama, 2018). Hal ini senda dengan penelitian yang dilakukan Lodewyk, Lu, dan Kentel (2009) yang menemukan bahwa nilai-nilai religius dan spiritual seperti kesadaran, kepedulian, ketenangan, dan toleransi diaktifkan selama pendidikan jasmani. Demikian pula, pelajaran pendidikan jasmani dan olahraga telah dilaporkan memiliki potensi yang lebih besar untuk memengaruhi perkembangan spiritual terkait aktivitas sehari-hari di sekolah dan masyarakat (Lynch, 2015). Sejalan dengan itu, penelitian Hilty (2016) menemukan bahwa lari memiliki aspek spiritual dan religius karena gerakan repetitif dan manfaat menjernihkan pikiran membantu individu menemukan makna dan tujuan hidup, serupa dengan praktik keagamaan. Minat anak-anak dalam kesehatan dan olahraga akan membentuk sikap terhadap aktivitas fisik dan spiritualitas (Lynch, 2013). Spiritualitas anak-anak terkait erat dengan kebahagiaan, semakin bahagia akan lebih spiritual (Holder, Coleman, & Wallace, 2010). Kesimpulannya bahwa pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam pendidikan jasmani harus mendukung spiritualitas anak (NASPE, 2005).

Pengaktifan spiritualitas anak-anak dimungkinkan melalui bentuk-bentuk gerakan-gerakan tubuh dari Timur, seperti: yoga, meditasi, dan latihan relaksasi dalam fase pendinginan suatu pelajaran untuk memberikan ketenangan, istirahat, dan kesendirian yang teratur (Lodewyk, Lu, & Kentel, 2009). Kegiatan olahraga yang dilaksanakan juga menekankan pada berdoa di awal dan akhir pelajaran untuk mempromosikan ketenangan, komitmen, ikatan dengan teman, kontrol emosi, dan prestasi anak (Coakley, 2003; Watson & Czech, 2005). Sejalan dengan pelaksanaan doa, banyak olahragawan profesional telah mengembangkan kebiasaan dan ritual yang melibatkan doa dalam olahraga dan aktivitas fisik (Dillon & Tait, 2000; Obare, 2000) untuk meminta kesuksesan bagi diri mereka sendiri atau tim dan mengungkapkan rasa terima kasih atas hasil dicapai (Jirásek 2015). Kemungkinan ini sejalan dengan fakta bahwa dalam Islam, semua aspek manusia adalah penting (Khanifar, Moghimi, Memar, & Jandaghi, 2008). Apalagi bagi umat Islam, keikutsertaan dalam olahraga terkait dengan eksistensi dan keyakinan (Amara, 2013; Wabuyabo, Wamukoya, & Bulinda, 2015). Pelaksanaan pendidikan jasmani dan olahraga memfasilitasi perkembangan tingkah laku dan sikap anak terkait dengan keyakinan spiritual dan religiusnya, yang berujung pada peningkatan tingkat religiusitas dan spiritualitas anak-anak terutama di daerah tertentu. Sekolah berbasis agama memberikan banyak kontribusi bagi peningkatan spiritualitas dan religiusitas anak-anak. Sekolah-sekolah ini menjalankan berbagai tradisi dan ritual keagamaan dalam kegiatan sekolah sehari-hari, termasuk dalam pelajaran pendidikan jasmani dan olahraga.

Model Pendidikan Jasmani Untuk Membentuk Kesiapsiagaan Dan Ketangguhan Anak

Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model dalam pendekatan konstruktivistik yang sering digunakan dalam pelajaran pendidikan jasmani dan olahraga. Pendekatan konstruktivistik adalah pendekatan pembelajaran yang berguna bagi siswa dalam menciptakan lingkungan yang dapat mengubah pengetahuan, sikap, dan perilaku, serta kemampuan pemecahan masalah dalam berbagai situasi (Brown & King, 2000). Sebagaimana diungkapkan Dyson (2001), banyak guru pendidikan jasmani menggunakan berbagai bentuk kegiatan kooperatif seperti permainan tim atau beberapa elemen pembelajaran kooperatif. Lebih lanjut ditekankan bahwa guru pendidikan jasmani dan olahraga dapat menjadi fasilitator yang memungkinkan siswa berinteraksi secara sosial satu sama lain dan membangun pengetahuannya (Dyson, 2002). Dalam pembelajaran kooperatif, karakter utamanya adalah melibatkan siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil, saling membantu dalam pencapaian setiap tujuan pembelajaran (Gorucu, 2016). Partisipasi siswa dalam pembelajaran kooperatif berdasarkan pengembangan keterampilan sosial dasar tertentu menunjukkan peningkatan keterampilan dan sikap terhadap kerja kelompok (Goudas & Magotsiou, 2009). Secara spesifik, Bay-Hinitz, Peterson, dan Quilitch (1994) menjelaskan bahwa upaya terkoordinasi antara dua siswa atau lebih diperlukan agar mereka dapat terlibat dengan baik dalam berbagai permainan kooperatif yang terstruktur. Terakhir, pembelajaran kolaboratif dalam PE diharapkan akan membantu mencapai peningkatan kinerja akademik, keterampilan komunikasi, dan kesehatan psikologis (Chiu, Hsin, & Huang, 2014).

Pendidikan jasmani dan olahraga dapat mengadopsi pembelajaran kooperatif yang merupakan pendekatan konstruktivis (Brown & King, 2000). Pembelajaran ini menitikberatkan pada permainan kooperatif (Dyson, 2001) yang memungkinkan anak berinteraksi secara sosial satu sama lain dalam membangun pengetahuannya (Dyson, 2002). Pembelajaran kooperatif melibatkan siswa dalam bekerja dalam kelompok kecil, saling membantu dalam mencapai setiap tujuan pembelajaran (Gorucu, 2016) sehingga memungkinkan berkembangnya keterampilan sosial dan sikap dasarnya (Goudas & Magotsiou, 2009). Pembelajaran kooperatif melibatkan dua atau lebih anak dalam aktivitas mereka (Bay-Hinitz, Peterson, dan Quilitch, 1994) untuk membantu mencapai peningkatan kinerja akademik, keterampilan komunikasi, dan kesehatan psikologis (Chiu, Hsin, & Huang, 2014).

Model pendidikan jasmani dan olahraga untuk membentuk anak yang siaga dan tangguh menggunakan beberapa jenis aktivitas fisik yang kooperatif, teknik pemecahan masalah, dan aktivitas untuk mendorong penanganan stres, termasuk latihan relaksasi yang bertujuan untuk mengurangi emosi/gejala negatif, seperti depresi, kecemasan, dan stres, meningkatkan keterampilan psikososial, dan meningkatkan spiritualitas anak-anak. Beberapa karekteristik model pendidikan jasmani dan olahraga untuk membentuk anak siaga dan tangguh, yaitu: Pertama, model pendidikan jasmani dan olahraga ini didasarkan pada kurikulum 2013 dengan sedikit modifikasi. Kedua, materi pembelajaran pendidikan jasmani dan olahraga meliputi permainan dan olahraga, kebugaran jasmani, senam kependidikan, dan aktivitas ritmik. Ketiga, waktu pembelajaran pada pendidikan jasmani dan olahraga dilaksanakan dengan 70 menit dua kali pertemuan setiap minggu. Keempat, subjek model pendidikan jasmani dan olahraga ini ditujukan bagi siswa kelas 4-6 Sekolah Dasar. Kelima, model ini menggunakan 43 aktivitas fisik yang berbasis psikososial dan 32 aktivitas fisik berbasis tradisional. Keenam, latihan relaksasi holistik selama 10 menit di akhir setiap pelajaran. Tabel 1 memperlihatkan garis besar karakteristik program pendidikan jasmani dan olahraga untuk membentuk anak siaga dan tangguh.

Proses pengembangan program pendidikan jasmani dan olahraga untuk membentuk anak yang siaga dan tangguh meliputi analisis kurikulum, penyusunan silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Pembuatan aktivitas, buku panduan guru, dan media pembelajaran. Analisis kurikulum dilakukan mengidentifikasi kompetensi inti dan kompetensi dasar, yaitu keterampilan yang harus dicapai siswa dalam pembelajaran. Berdasarkan kompetensi yang teridentifikasi, disusun silabus pembelajaran yang meliputi penjabaran kompetensi yang teridentifikasi (pengetahuan, sikap, dan keterampilan), penambahan keterampilan psikososial dan spiritual, materi, waktu, dan kegiatan pembelajaran. Selanjutnya silabus dijabarkan dalam RPP yang meliputi hari dan tanggal pertemuan, materi pelajaran, kegiatan pembelajaran (kegiatan pembukaan, inti, dan penutup), dan alokasi waktu pembelajaran. Secara khusus, rencana tersebut menguraikan partisipasi anak-anak dalam 43 aktivitas fisik berbasis psikososial dan 32 aktivitas fisik berbasis tradisional serta latihan relaksasi holistik dalam kelompok secara kooperatif. Hal tersebut dirangkum dalam buku panduan guru (Handbook) dan disertai media pembelajaran berupa video untuk memfasilitasi pelaksanaan model ini.

Contoh aktivitas fisik berbasis psikososial yang digunakan dalam pendidikan jasmani dan olahraga beri nama "bantuan datanglah". Permainan ini bersifat kooperatif yang mengharuskan siswa membantu temannya agar permainan terus berlanjut. Siswa kelas 4-6 disarankan untuk memainkan permainan ini. perlengkapan yang dibutuhkan dalam permainan antara lain matras/ alas dan kerucut. Pertama, permainan dimulai dengan memilih siswa sebagai "katak", sedangkan siswa lainnya adalah "semut". Atas aba-aba guru, katak bergerak menandai semut dengan cara menangkap atau menyentuh bagian tubuh. Semut yang tertandai/terkena kemudian berbaring telentang dengan kaki dan tangan bergerak. Pada titik ini, keempat semut yang tidak terkena/tertanda mencoba menyelamatkan semut yang terluka dengan membawanya ke area khusus (matras/alas) secara aman dan hati-hati. Selain itu, keempat semut yang membawa semut yang "sakit" itu harus dalam keadaan aman dan katak tidak boleh menandai/menyentuh mereka. Semut yang sudah diletakkan di atas matras/alas memiliki waktu dua detik untuk bangun sebelum mereka dapat ditandai/disentuh kembali oleh katak. Permainan berakhir ketika semua semut telah tertandai sehingga tidak ada semut yang membantu lagi. Secara keseluruhan, guru menekankan bahwa setiap siswa yang menjadi semut harus bekerja sama untuk membantu semut yang ditandai atau terluka.

Contoh permainan tradisional yang digunakan pada model ini adalah permainan “gobak sodor”. Permainan tradisional yang dikenal dengan berbagai nama di seluruh Indonesia ini berguna untuk mengembangkan strategi, komunikasi, dan kerja sama. Permainan ini dapat dimainkan oleh anak-anak SD kelas 4 sampai 6. Peralatan seperti kapur, kerucut, dan nomor dada dibutuhkan untuk memainkan permainan tersebut. Lapangan permainan persegi panjang berjajar setiap 3–4 meter dan panjang lapangan dapat ditambahkan sesuai kebutuhan. Permainan dimulai dengan membentuk dua tim (penyerang dan penjaga), dengan jumlah pemain di setiap kelompok disesuaikan dengan lapangan yang tersedia. Pemain penjaga berdiri di garis yang ada di lapangan, sedangkan penyerang berkumpul di area awal. Setelah ada isyarat untuk memulai permainan, pemain dari tim penyerang mencoba melewati setiap area dengan menghindari sentuhan dari setiap pemain tim penjaga hingga mencapai garis akhir. Kemudian pemain tim penyerang kembali ke area awal dengan cara yang sama, tanpa disentuh pemain tim penjaga. Tim penyerang menang dan mendapatkan skor kemenangan jika semua pemainnya kembali ke area awal dengan selamat. Pergantian dari tim penyerang menjadi penjaga saat seorang pemain tim penjaga menyentuh salah satu pemain tim penyerang. Permainan selesai dalam batas waktu yang ditentukan.

Pendidikan jasmani dan olahraga harus menjadi alat yang layak untuk meningkatkan perkembangan psikososial dan spiritual anak termasuk mereka yang tinggal di daerah tertentu. Pendidikan jasmani dan olahraga menjadi penting untuk mempersiapkan anak-anak menghadapi keadaan darurat melalui promosi kesehatan, rehabilitasi psikososial, pengembangan masyarakat, dan pendidikan. Pendidikan jasmani dan olahraga berkontribusi pada fase respons, pemulihan, dan rekonstruksi bencana. Berbagai penelitian menemukan bahwa pendidikan jasmani dan olahraga memiliki peran penting dalam pemulihan dari keadaan darurat. Pendidikan jasmani dan olahraga lebih banyak digunakan untuk pemulihan trauma melalui pengembangan lingkungan yang nyaman dan menyenangkan. Rehabilitasi psikososial diperlukan untuk anak-anak, dan olahraga memberikan kesempatan kepada mereka untuk terlibat dalam kegiatan dalam kelompok yang kompetitif dan beragam. Hal ini sesuai dengan fungsi pendidikan jasmani dan olahraga yang merupakan sarana yang paling memungkinkan untuk perkembangan fisik, psikososial dan spiritual, sebagaimana dibuktikan oleh berbagai penelitian. Karena integrasi penjas dan olahraga dalam pendidikan, secara umum, seharusnya mudah untuk melaksanakan intervensi berbasis psikososial dan tradisional untuk memungkinkan anak-anak mengurangi keadaan emosi negatif mereka dan mengembangkan keterampilan psikososial dan spiritual. Pendidikan jasmani dan olahraga dapat meredakan keadaan emosi negatif anak-anak (depresi, kecemasan, dan stres) dan meningkatkan keterampilan psikososial (mengatasi stres, komunikasi, kesadaran sosial, dan pemecahan masalah) anak-anak. Selain itu, religiusitas dan spiritualitas anak-anak juga meningkat melalui partisipasi dalam pendidikan jasmani dan olahraga.

Pendidikan jasmani dan olahraga untuk membentuk kesiapsiagaan dan ketangguhan anak mendukung integrasi empat nilai olahraga dalam pembangunan dan perdamaian. Model pendidikan jasmani dan olahraga ini mengintegrasikan pendidikan sebagai nilai inti dengan nilai-nilai lain yang terkait dengan olahraga (kesehatan, rehabilitasi psikososial, dan pembangunan komunitas) sehingga dapat mencapai Sasaran Pembangunan Milenium mengenai pemanfaatan olahraga dan aktivitas fisik untuk tercapainya tumbuh kembang anak secara harmonis (Lyras, 2009; United Nations Inter-Agency Task Force on Sport for Development and Peace, 2003). Pendidikan jasmani dan olahraga berupaya mengembangkan kemampuan fisik, keterampilan psikososial, dan spiritualitas anak sebagai dasar pembentukan kesiapsiagaan dan ketangguhan dalam menghadapi masalah kehidupan, khususnya dalam keadaan tertentu. Pendidikan jasmani dan olahraga secara konstruktif dapat disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan dikembangkan secara terintegrasi untuk membentuk kesiapsiagaan dan ketangguhan anak yang tinggal di daerah tertentu.

Pendidikan jasmani dan olahraga harus dilakukan secara terencana dan terukur agar pengembangan aspek fisik, psikologis, sosial, dan spiritual anak-anak secara holistik dan harmonis dapat tercapai. Pendidikan jasmani dan olahraga harus melibatkan berbagai berbagai macam aktivitas fisik yang inovatif, atraktif, dan menyenangkan serta disosialisasikan secara bertahap dengan membangun kemitraan antara peneliti dan praktisi (guru/instruktur/pelatih). Analisis dan kajian pada pendidikan jasmani dan olahraga harus menekankan pada pengendalian semua variabel yang mungkin mempengaruhi dan fokus pada karakteristik perkembangan anak secara lebih mendalam dan luas untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar. Pengembangan aspek-aspek anak dalam pendidikan jasmani dan olahraga harus direplikasi dalam kondisi tertentu yang darurat, seperti: bencana alam, bencana non-alam, dan bencana sosial. Penggunaan instrumen yang komprehensif dan dapat disesuaikan untuk mengukur perkembangan anak secara holistik dan harmonis harus digunakan dalam program intervensi pendidikan jasmani dan olahraga di masa depan.

 

Prof. Soni Nopembri, M.Pd., Ph.D.
Pendidikan jasmani dan olahraga harus dilakukan secara terencana dan terukur agar pengembangan aspek fisik, psikologis, sosial, dan spiritual anak-anak secara holistik dan harmonis dapat tercapai. Pendidikan jasmani dan olahraga harus melibatkan berbagai berbagai macam aktivitas fisik yang inovatif, atraktif, dan menyenangkan serta disosialisasikan secara bertahap dengan membangun kemitraan antara peneliti dan praktisi (guru/instruktur/pelatih).