PPM UNY Angkat “Hari Santri” sebagai Cermin Deep Learning dan Justifikasi Islam terhadap Nasionalisme

Tim Pengabdian kepada Masyarakat (PPM) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang diketuai Prof. Saefur Rochmat, S.Pd., MIR., Ph.D., bersama Dr. Gunartati, M.Pd., dan Dr. Zulkarnain, M.Pd., menggelar sosialisasi penerapan deep learning atau pembelajaran mendalam dengan topik “Hari Santri sebagai Justifikasi Islam pada Nasionalisme”. Kegiatan ini bertujuan mendorong penerapan pembelajaran yang berlandaskan teori dan nilai-nilai kebangsaan agar pendidikan di Indonesia menjadi lebih bermakna.

Prof. Saefur Rochmat menjelaskan bahwa deep learning bukan sekadar metode, tetapi pendekatan pedagogis yang menuntut guru memahami teori secara mendalam. “Indonesia sudah berulang kali mengganti kurikulum, tetapi skor literasi justru menurun. Kurikulum Merdeka pun belum mampu memperbaiki hasil PISA 2022 yang merupakan skor terendah sejak Indonesia ikut pada tahun 2000. Akar masalahnya, guru belum memiliki landasan teori yang kuat dalam menyusun materi ajar,” ujarnya.

Ia menambahkan, seorang sarjana, terlebih calon guru, seharusnya memiliki “stetoskop intelektual” berupa teori-teori yang dapat digunakan untuk membaca realitas kehidupan. Dengan pemahaman teori, pembelajaran menjadi mindful, meaningful, dan joyful — tidak sekadar hafalan data, tetapi melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills).

Tim PPM UNY juga menyoroti pentingnya paradigma Pancasila sebagai dasar pengembangan pengetahuan dan karakter. Menurut mereka, pendekatan deep learning dapat menjadi cara untuk menjembatani aspek kognisi dan afeksi dalam proses belajar. “Guru tidak cukup hanya mengajarkan konsep nasionalisme, tetapi juga harus memahami teori-teori nasionalisme dan mengaitkannya dengan nilai-nilai Pancasila agar siswa mampu merumuskan pengetahuan yang bermakna,” terang Dr. Gunartati.

Dalam konteks Hari Santri, Prof. Saefur menilai peringatan nasional setiap 22 Oktober tersebut semestinya menjadi sarana pembelajaran bagi siswa tentang hubungan harmonis antara Islam dan nasionalisme. “Hari Santri adalah justifikasi Islam terhadap nasionalisme. Namun sampai kini belum ada materi ajar yang secara khusus membahas hal ini di sekolah maupun perguruan tinggi. Padahal, ini penting agar generasi muda tidak salah memahami nasionalisme sebagai konsep sekuler,” paparnya.

Melalui deep learning, aspek kognitif dan afektif dapat diintegrasikan sehingga muncul religious skill dalam praktik kehidupan. Bagi Muslim, pemahaman nasionalisme dapat diwujudkan dalam semangat jihad, yakni berjuang di jalan kebenaran untuk kemaslahatan bangsa. Inilah model pengetahuan Pancasilais yang diharapkan mampu mengatasi krisis moral dan peradaban modern.

Tim PPM UNY menilai, majunya suatu bangsa bergantung pada kualitas pengetahuan yang berakar pada nilai dan budaya nasional. Karena itu, pendidikan Indonesia harus mampu melahirkan pengetahuan yang tidak hanya modern tetapi juga berkarakter Pancasila. “Kita sudah memiliki berbagai sistem—politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan—namun belum berjalan optimal karena fondasi pengetahuan kita belum kokoh,” tutup Prof. Saefur.

Melalui gerakan deep learning ini, UNY berkomitmen memperkuat peran perguruan tinggi dalam membangun generasi pendidik yang reflektif, berteori, dan berkarakter. Momentum Hari Santri pun diharapkan menjadi ruang refleksi untuk mengembalikan makna belajar sebagai proses pencarian kebenaran yang memadukan akal, hati, dan iman dalam semangat kebangsaan.

Penulis
Prof. Saefur Rochmat
Editor
Dedy
Kategori Humas
IKU 3. Dosen Berkegiatan di Luar Kampus
IKU 5. Hasil Kerja Dosen Digunakan oleh Masyarakat