Sehari Belajar dan Bertukar Rasa: Cerita Inklusif dari Kadibeso

Pagi itu, Balai Dusun Kadibeso di Argodadi, Sedayu, Bantul, terasa lebih hidup dari biasanya. Langit yang mulai cerah berpadu dengan tawa dan canda yang mengisi udara. Di sini, mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Mandiri (KKN-M) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) bersama komunitas difabel Argodadi Pinilih berkumpul dalam kegiatan bertajuk 'Sehari Belajar dan Bertukar Rasa’.

Namun kegiatan itu bukan sekadar acara seremonial. Ia menjadi ruang perjumpaan yang hangat antara mahasiswa dan masyarakat, tempat semua orang bisa belajar saling memahami tanpa sekat. Di antara peserta tampak sosok Marsini, seorang ibu dari Muh Isnan—anak dengan kelemahan syaraf yang menjadi sumber semangat hidupnya. Dengan pelan tapi pasti, ia mengikuti setiap rangkaian acara, berinteraksi dengan para mahasiswa dan peserta lain. Meski Isnan tidak hadir hari itu, Marsini membawa semangat anaknya dalam setiap senyumnya.

Marsini melukis tas sederhana untuk Isnan. Dengan cat warna-warni dan kuas, ia menggoreskan gambar keranjang di permukaan tas tersebut. Lukisan itu, katanya, menjadi simbol seorang ibu yang selalu menjadi tempat anaknya berkeluh kesah dan berlindung. “Saya ingin anak saya senang, punya tas buatan ibu sendiri. Di dalam lukisan keranjang itu, saya ingin menggambarkan bahwa ibu adalah tempat anaknya pulang,” ujarnya penuh haru. Tas itu ia buat khusus untuk Isnan, bukan sekadar benda, melainkan pelukan yang diwujudkan dalam bentuk karya.

Kisah Marsini menjadi cermin dari semangat yang tumbuh di Kadibeso hari itu: bahwa inklusivitas bukan sekadar kata, melainkan tindakan kecil yang lahir dari hati.

Sementara itu, mahasiswa KKN-M UNY ikut larut dalam kegiatan yang penuh makna ini. Mereka mengajak warga menggambar bersama, dan saling bertukar cerita kehidupan. Melalui pertemuan itu, mahasiswa belajar tentang empati, kesabaran, dan cara melihat dunia dari perspektif yang lebih luas.

Erdea Madisa, salah satu peserta KKN, mengaku hari itu menjadi pengalaman yang membekas. “Saya sangat senang proker terkait difabel ini bisa terlaksana. Banyak hal yang belum pernah saya rasakan, hari ini benar-benar membuka mata saya,” tuturnya, Jumat (7/11/25).

Menariknya, tas-tas yang digunakan dalam kegiatan merupakan hasil karya Diva Syalaisa Syafina dan Herman Makruf, mahasiswa Pendidikan Tata Busana. Keduanya menjahit sendiri tas-tas tersebut dengan bantuan seluruh anggota tim KKN-M Kadibeso. Tas itu menjadi simbol kolaborasi dan dedikasi—hasil kerja tangan yang menyatukan kreativitas dan kepedulian.

Ketua KKN-M UNY Kadibeso, Fadhli Harbiy Sentana, menyebut kegiatan ini sebagai bentuk nyata pembelajaran sosial bagi mahasiswa. “Kami tidak hanya belajar mengabdi, tapi juga belajar mendengar. Dari masyarakat, kami memahami bahwa keberagaman adalah kekuatan,” jelasnya.

Pendamping komunitas difabel Argodadi Pinilih, Waris, turut memberikan apresiasi. “Saya berterima kasih KKN UNY mau peduli dengan komunitas difabel. Mereka datang bukan untuk memberi, tapi untuk belajar bersama. Juga bukan untuk menggurui, tapi untuk tumbuh bersama. Mereka hadir dengan hati” ungkap Waris.

Ketika siang menjelang dan acara berakhir, tak ada yang benar-benar pulang tanpa membawa sesuatu. Mahasiswa membawa pelajaran tentang empati, warga membawa semangat baru, dan Marsini membawa pulang inspirasi untuk terus berkarya bagi anaknya.

Dari Dusun Kadibeso, kisah kecil itu bergema sebagai pesan besar: bahwa dalam setiap perbedaan, selalu ada ruang untuk tumbuh, saling memahami, dan menciptakan keindahan bersama.

Penulis
Dedy
Editor
Sudaryono
Kategori Humas
IKU 2. Mahasiswa Mendapat Pengalaman di Luar Kampus