Di tengah rimbunnya vegetasi pesisir yang merana, secercah harapan baru muncul dari tangan-tangan generasi muda. Sebanyak 76 mahasiswa dari Program Studi Biologi, Departemen Pendidikan Biologi FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), turun langsung ke Kawasan Mangrove Pasirmendit, Kulonprogo, pada Sabtu, 20 April 2024. Bukan sekadar kuliah lapangan biasa, kegiatan ini menjadi misi awal untuk membangkitkan kembali "surga tersembunyi" yang potensinya sempat pudar ditelan waktu dan masalah lingkungan.
Bekerja sama dengan komunitas pelestari mangrove setempat, Wanatirta, para mahasiswa ini memetakan kembali denyut kehidupan di Pasirmendit. Mereka dengan teliti mendata setiap jenis dan sebaran mangrove, sekaligus merancang ulang jalur wisata edukasi yang diharapkan dapat menarik kembali minat pengunjung.
Kawasan Pasirmendit sejatinya bukan tempat baru. Menurut Warso Suwito, Ketua Komunitas Wanatirta, lokasi ini telah dirintis sebagai kawasan wisata pendidikan dan minat khusus sejak 2013. "Dulu, tempat ini sangat populer. Pengunjung datang untuk menikmati suasana hutan mangrove yang unik dan berbeda," kenang Warso. Namun, pesonanya perlahan memudar, terutama setelah hantaman pandemi. "Penyebab utamanya adalah masalah sampah. Sampah kiriman yang terbawa pasang surut air laut dan aliran dari Sungai Bogowonto terus menumpuk, menutupi keindahan alami kawasan ini," jelasnya.
Masalah inilah yang menjadi fokus utama para mahasiswa. Mereka tidak hanya belajar, tetapi juga berupaya mencari solusi agar Pasirmendit dapat kembali berfungsi sebagai laboratorium alam mangrove andalan di Yogyakarta.
Dosen pengampu mata kuliah Biologi Laut, Rio Handziko, menegaskan bahwa Pasirmendit memiliki nilai ekologis yang sangat tinggi. "Sejak sebelum 2010, kawasan ini tercatat sebagai lokasi dengan jumlah jenis mangrove sejati dan asosiasi terbanyak di Yogyakarta," ungkap Rio. Lebih dari itu, Pasirmendit menyimpan keunikan geologis yang langka, yaitu adanya "kalipasir". Aliran sungai kecil berdasar pasir ini memisahkan pemukiman warga dengan gisik pantai selatan, dan alirannya sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut dari muara Sungai Bogowonto.
Di sela-sela kegiatan identifikasi mangrove, para mahasiswa juga dikejutkan dengan kehadiran fauna khas, ikan Glodok (atau Tembakul). Ikan amfibi ini dengan lincahnya melompat dan mencari makan di daratan lumpur, sebuah atraksi alam yang memukau dan menjadi bukti kekayaan ekosistem Pasirmendit.
Inisiatif yang digerakkan oleh mahasiswa ini tidak hanya berdampak pada lingkungan lokal, tetapi juga selaras dengan berbagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) global. Aksi revitalisasi ini secara langsung berkontribusi pada SDG 14 (Kehidupan Bawah Air) dan SDG 15 (Kehidupan di Darat) dengan melindungi ekosistem pesisir dan keanekaragaman hayatinya. Peran mangrove sebagai penyerap karbon yang vital juga menjadi jawaban untuk SDG 13 (Aksi Iklim). Lebih dari itu, proyek ini adalah wujud nyata SDG 4 (Pendidikan Berkualitas) melalui pembelajaran langsung dan pengembangan edutourism, serta menjadi implementasi sempurna dari SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan) yang menyatukan akademisi, mahasiswa, dan komunitas lokal.
Inisiasi yang dilakukan oleh mahasiswa Biologi UNY ini diharapkan menjadi langkah awal yang signifikan. Dengan memadukan data ilmiah dan konsep edutourism yang segar, mereka berharap dapat mengembalikan kejayaan Pasirmendit. "Harapannya, dengan hidupnya kembali wisata pendidikan di sini, kepekaan masyarakat terhadap lingkungan akan tumbuh. Mereka akan sadar betapa pentingnya mangrove, tidak hanya sebagai benteng pesisir, tetapi juga sebagai penyerap karbon yang vital," tutup Rio.
Kolaborasi antara akademisi, mahasiswa, dan komunitas lokal ini menjadi bukti nyata bahwa semangat konservasi dapat menghidupkan kembali potensi alam yang sempat terlupakan, mengubah kawasan yang merana menjadi sumber ilmu pengetahuan dan inspirasi bagi semua.