PENGUATAN KEARIFAN LOKAL JAWA MENUJU FBS YANG AKADEMIS HUMANIS DAN PROFESIONAL

Pengertian Kearifan Lokal Jawa

Kearifan lokal atau local genius memiliki pengertian sekelompok manusia dari etnik tertentu yang memiliki sifat arif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) kata arif memiliki arti bijaksana, cerdik, cerdas, pandai, berilmu, mengetahui dan memahami.Wales (via Rahyono (2009:7) menjelaskan bahwa kearifan lokal atau local genius adalah the sum of the cultural characteristics which the vast majority of a peoplehave in common as a result of their experiences in early life.

Dari definisi tersebut dapat diambil tiga pokok pikiran yang terkandung dalam kearifan lokal yaitu: (1) ada sekelompok manusia pemilik budaya, (2) ada ciri-ciri budaya, dan (3) ada serentetan pengalaman hidup yang menghasilkan ciri budaya. Dengan demikian kearifan lokal dapat diartikan sekelompok manusia yang cerdas, dan bijaksana yang melalui kecerdasan dan pengalaman hidupnya mampu menghasilkan ciri-ciri budaya yang (akhirnya) mereka miliki.

Kearifan lokal menurut Poespowardoyo (1986:32) dimaknai sama dengan kebuyaan. Hal ini tercermin dalam definisi kebudayaan. Kebudayaan adalah seluruh usaha dan hasil usaha manusia atau masyarakat untuk mencukupi segala kebutuhan dan memperbaiki kehidupnya. Berangkat dari definisi kearifan lokal, maka kearifan lokal Jawa dapat dimaknai seluruh usaha dan hasil usaha manusia atau masyarakat Jawa untuk mencukupi segala kebutuhan dan memperbaiki kehidupnya.

Kearifan lokal memiliki kedekatan arti dengan kata kebudayaan. Kebudayaan bermakna hal mengenai budaya. Pengertian kebudayaan meliputi tiga hal yaitu: gagasan, aktivitas, dan hasil karya manusia, sedangkan katabudaya berarti pikiran, akal budi, tingkah laku, akhlak watak dan peradaban (Marsono, 2009: 9).

Merujuk pengertian tersebut, maka dapat dideskripsikan bahwa manusia yang kuat kearifan lokalnya, dapat diharapkan akan menjadi manusia yang cerdas, cendekia, bijaksana, berkarakter atau berkepribadian. Orang yang memiliki ciri seperti itu disebut manusia yang arif. Dalam pandangan Jawa manusia arif adalah manusia yang mampu bertegur sapa secara humanis, atau karyenak tyasing sesami ‘membuat orang yang diajak komunikasi nyaman’.

Orang arif juga memiliki kemampuan mengatasi permasalahan, dengan kecerdasan yang dimiliki. Orang yang cerdas dan memiliki tepa salira ‘mampu bertindak sesuai kondisi dan kemampuannya’ dapat dikategorikan sebagai manusia yang profesional, karena orang tersebut tidak akan menghalalkan segala cara dalam meraih kesuksesan. Manusia arif akan berlaku satitahe ‘sesuai ukuran kemampuan yang dimiliki, atas pemberian Allah’. Sikap ini sikap yang diharapkan FBS untuk segenap keluarga besarnya, sehingga mampu menjadikan FBS sebagai fakultas yang bersifat  akademis, humanis, dan profesional.

 

Unsur Kearifan Lokal Jawa

Sebuah kebudayaan dimunculkan, karena adanya keinginan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia, dan nilai-nilai luhur kemanusiaan (Rahyono, 2009:5). Sejalan dengan pandangan Rahyono, Masinambow (2004:36-37) mengatakan bahwa kebudayaan itu memberikan makna manusiawidan membuat tata kehidupan yang manusiawi. Lebih lanjut Masinambow menjelaskan penganut kebudayaan humanistis mengarahkan kelompoknya untuk menuju ke kesempurnaan hidup atau mengangkat martabatnya dan meninggalkan segala sesuatu yang bersifat rendahan. Jenis kebudayaan inilah yang menunjukkan sifaf kearifan dalam budaya.

Kebudayaan lokal biasanya memilki nilai-nilai luhur yang biasa dijdikan pedoman hidup. Nilai-nilai kebudayaan dapat dikenali lewat unsur kebudayaan yang dihasilkan masyarakatnya. Koentjaraningrat (2009:165) menguraikan tujuh unsur kebudayaan yang berupa bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata peharaian, kesenian dan sistem religi.Unsur kebudayaan yang dimiliki sekelompok masyarakat termasuk masyarakat Jawa, akan selalu dijadikan pedoman hidup dan akan dijaga kelestariannya, agar jati diri masyarakatnya tidak hilang.

Unsur kebudayaan Jawa memiliki posisi strategis untuk digali, direkonstruksi, disosialisasikan, dan didesiminasikan kepada generasi penerus Jawa, mengingat kebudayaan merupakan sumber ilmu pengetahuanJawa. Unsur kebudayaan Jawa sesuai dengan jabaran unsur kebudayaan secara umum terdiri dari tujuh unsur bahasa Jawa, sistem pengetahuan pengetahuan Jawa, organisasi sosial masyarakat Jawa, sistem peralatan hidup dan teknologi Jawa, sistem mata peharaian masyarakat Jawa, kesenian Jawa, dan sistem religi Jawa.

Dari ketujuh unsur tersebut dapat dijadikan ladang pengkajian, pengembangan, dan penyebarluasan nilai-nilai budaya Jawa.Untuk memudahkan langkah pengkajian diperlukan kehadiran data unsur kebudayaan. Data kebudayaan dirinci dalam wujud tuturan, teks, artefaks, lingkungan alam asli dan termodifikasi (Masinambow,2004).

Pengkajian unsur kebudayaan yang berupa bahasa menggunakan  data yang berupa tuturan dan teks. Pendekatan kajian ini dapat menggunakan pendekatan linguistik, filologi, semiotik, sastra, atau sesuai dengan fokus kajian. Salah satu contoh kajian unsur kebudayaan yang berupa bahasa adalah pemaknaan slogan bahasa Jawa. Bahasa Jawa memiliki banyak slogan yang bisa direspon dengan makna positif dan negatif tergantung kemampuan penafsirnya.

Slogan yang pertama adalah slogan yang terkait dengan tindakan atau cara kerja manusia Jawa. Dalam bertindak manusia Jawa sering dinasehati dengan kata gliyak-gliyak waton tumindak. Respon terhadap slogan tersebut bisa positif dan negatif. Apabila responnya positif, maka referensi yang muncul dari kata tersebutadalah bekerja dengan penuh kehati-hatian agar tercapai hasil yang sempurna. Arti kata gliyak-gliyak waton tumindak adalah melakukan tindakan tanpa tergesa-gesa. Slogan ini memiliki kesamaan isi dengan alon-alon waton kelakon.

Respon positif terhadap slogan ini, didasarioleh beberapa prinsip yang direferensikan kata tersebut. Referensi yang ditawarkan adalah prinsip: nastiti, gemi, empan papan, rigen, dan satitahe. Kata nastiti dapat diartikan cermat. Kata cermat mereferensikan maksud kepada pendengar bahwa kata alon-alon bersinonim dengan aja grusa grusu’jangan asal/asal cepat’. Nilai yang terkandung dalam kata tersebut, adalah bertindaklahdengan penuh perhitungan atau cermat.

Kata gemi berarti hemat, dan mereferensikan maksud agar orang yang melakukan tindakan harus memikirkan kesempurnaan hasil yang dicapai, tidak asal mengeluarkan dana, apalagi jika hal yang diharapkan belum jelas. Perbuatan yang seperti ini termasuk yang merugikan, dalam slogan Jawa diproposisikan dengan kata mburu uceng kelangan delek’ mengejar sesuatu yang remeh dan lupa akan kepentingan yang lebih besar, atau tindakan yang menimbulkan kerugian besar..

Referensi berikutnya adalah empan-papan. Arti kata yang terkandung dalam kata empan papan adalah orang yang peduli situasi. Dalam melakukan tindakan manusia tidak boleh mengabaikan situasi dan kondisi lingkungan, karena akan menghasilkan proposisi gonyak-ganyuk nglelingsemi ‘membuat malu karena tidak tahu diri’, pada hal referensi yang dimaksud adalah karyenak tyasing sesami ‘membuat hati orang lain nyaman. 

Berikutnya kata alon-alon waton klakon mereferensikan kata rigen.  Kata rigen berarti perbuatan yang dilandasi strategi. Referensi yang disodorkan dari kata tersebut adalah orang bekerja harus pisan gawe, atau mrantasi gawe, dan diharpkan hasilnya sempurna karena telah mempertimbang aspek cermat atau memliki strategi yang jitu. Untuk itu hasil yang didapat adalah mrantasi gawe ‘menyelesaikan pekerjaan dengan sempurna’. Sebaliknya jika kata rigen tidak menjadi pertimbangan referensi, maka hasilnya negatif yaitu mindhon gaweni, atau dua kali kerja karena salah strategi.

Agar dalam bekerja nyaman referensi berikutnya yang disodorkan adalah satitahe. Kata  satitahe berarti mengerjakan sesuatu atas dasar kemampuan, sesuai yang dititahkan atau yang telah dikuasai. Pola kerja yang mempertimbangkan prinsip ini akan melahirkan sikap mawas diri atau mulat sarira, ngilo githokedanndeleng cengele.Sikap yang terkandung di dalam slogan ini adalah sikap humanis, karena mau mengingatkan, sikap akademis karena bekerja secara prosedur, dan profesional karena pola kerjanya mengacu pada keahliannya  atau sesuai kemampuannya. Prinsip kerja semacam ini akan manusia yang yang mengacu tata nilai bisa rumangsabukan rumangsa bisa.

Merujuk fakta tersebut, dapat disarikan bahwa kearifan lokal Jawa mampu membentuk manusia yang humanis, akademis, dan profesional. Sikap humanis yang terkandung dalam slogan tersebut adalah memanusiakan manusia atau nguwongke uwong, rigen, dan satitahe.

Slogan-slogan lain yang dapat diambil nilai-nilai strategisnya dalam bertindak antara lain narima ing pandum, mangan ora mangan kumpul, dan nguler kambang. Slogan ini biasa dipelesetkan referensinya, sehingga bermakna negatif. Narima ing pandum berati menerima apa adanya, atau pasrah, mangan ora mangan kumpul diartikan takut hijrah, dan nguler kambang diartikan pelan-pelan.  Slogan-slogan  lain yang dapat dicari referensi dan proposisi positifnya antara lain: durung pecus kesusu keselak besus, aja dumeh, aja aji mumpung, ngelia ning aja keli, ngundhuh wohing pakarti, sing kepenak ning aja sak kepenake, kaduk wani kurang deduga, pupur sadurunge benjut dan lain-lainnya.

Selain slogan di atas yang menengarai perbuatan sing ndalan, berikut ini akan ditunjukkan beberapa slogan yang menandai sikap kesatunan atau etiket Jawa. Kata-kata yang biasa digunakan untuk menunjukkan orang yang santun dan yang melanggar kesantunan antara lain: becik ketitik ala ketara, aja tumindak ala, wong sing ngerti unggah-ungguh, ngundhuh wohing pakarti, wong temen tinemu wong slah seleh,dan nganggoa unggah-ungguhing basa (Saryono, 2011:102).

Dalam  sederetan tuturan tersebut terkandung nilai becik, ala, dan tata krama serta nerak kasusilan. Cara menghormati orang lain selain memunculkan ujara-ujran tadi, manusia Jawa menggunakan teknik merendahkan diri, dan mengangkat harkat orang lain. Teknik tersebut tercantum dalam tuturan berikut. //anyingkiri sumangkeyan, /dir angunggulaken sarira, /sumenggah kumalungkung, /kuminter lan kumasura, /sosongaran anggunggung badan pribadi, /ladak angicak-icak...// (Kartodirdjo, dkk. via Saryono, 2011:112)

Dalam tuturan tersebut terkandung arti: menjadi manusia sedapat mungkin, menjauhi sikap angkuh, pantang meninggikan diri sendiri, merasa hebat dan menyombongkan diri, memegahkan diri dan meninggikan kemampuannya, serta sewenang-wenang terhadap orang lain. Nilai yang terkandung dalam ujaran tersebut adalah menjadi manusia jangan merendahkan orang lain tetapi rendahkan diri pribadi dan menjadi manusia andhap asor. Agar manusia dapat berlaku andhap asor, manusia Jawa harus paham beberapa hal seperti prinsip-prinsip berikut ini. //Kang sekar Pangkurwinarna, /Lelabuhan kang kanggo ing wong urip, /Ala lan becik puniku, /Prayoga kawruhana /Adat waton puniku dipunkadulu /Miwah ta ing tata karma /Den kaesthi siyang ratri// (Padmosoekotjo, 1958).

Nilai-nilai kesantunan yang terkandung dalam teks tersebut adalah orang hidup harus tahu tentang aspek ala lan becik’jahat/jelek dan baik’, paham akan adat lan waton’adat dan peraturan’, serta berlaku santun/bertata kerama setiap saat. Sikap yang ditanamkan dalam kearifan lokal Jawa ini adalah sikap humanis yaitu sikap yang memanusiakan manusia lain atau dengan mengemukan prinsip kerendahan hati.Kearifan lokal Jawa selain menanamkan sikap humanis, juga menanamkan nilai-nilai yang terkait dengan sikap akademis dan profesional, seperti yang tertera dalam tembang berikut ini.

//Pawitane wong urip puniki, /Pan sadasa lamun tan bisaa, /Nistha kuciwa dadine, /Dhingin karem ing ngelmu, /Kaping kalih bisa angaji, /Ping tiga bisa maca, /Ping sekawanipun, /Limpat pasang grahita, /Wruh sasmita trapsila akrama niti, /Budaya miwah sastra.// (Poedjowardojo, 1958:37)

 

Tembang tersebut berisi ajaran bahwa manusia harus berilmu, beragama, tanggap sasmita, bertata kerama, memahami ilmu budaya dan sastera. Berdasarkan isi tembang tadi manusia Jawa dapat dikatakan sebagai manusia yang profesiaonal, akademis, religius dan santun.

Pola pikir ilmiah yang lain dalam kearifan lokal Jawa adalah kemampuan berkomunikasi dengan wangsalan. Wangsalan adalah jenis tuturan yang digubah dalam wujud semacam cangkriman, tetapi jawabannya telah disediakan di dalam cangkriman itu sendiri secara terselubung. Untuk memahami isi wangsalan pendengar/pembaca harus mampu menganalisis dan mensitesiskan jawaban yang terselubung, dengan cara menghubungkan arti, nama, atau aspek lain agar jawaban bisa tertebak.Contohnya seperti wangsalan berikut ini. //Kembang adas sumebar neng tengah alas, /tuwas tiwas nglabuhi wong ora waras, /alah bapak balung jagung saguhku isih janggelan...// (Padmosoekotjo, 1958:8)

Wangsalan dalam lelagon iniberposisi di baris terakhir, yang berbunyi balung jagung, dengan tebakan kata janggelan yang didapatkan dari nama balung jagung yaitu janggel.Kata janggel dijadikan alat penentu tebakan sehingga muncul kata janggelan ’belum pasti’ sebagai jawabannya. Bagi orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang nama tulang jagung, tidak akan pernah paham tebakan wangsalan tersebut, mengapa bisa dijawab janggelan.

Unsur kebudayaan yang berikutnya adalah unsurseni yang terkandung dalam unsur bahasa. Wujud data dari unsur kebudayaan ini menggambarkan bahwa bahasa memiliki jalinan erat dengan kebudayaan. Pendapat ini sejalan dengan Kramsch dalam Rahyono (2009:77) yang menjelaskan bahwa bahasa memiliki jalinan dengan kebudayaan. Wujud jalinannya (1) languageexpresses cultural reality, (2) language embodies cultural reality, dan (3) language symbolizes cultural reality. Berdasarkan penjelasan tersebut bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi tetapi bisa dijadikan alat untuk mengekspresikan kebudayaan, mewujudkan kebudayaan, dan bahasa sebagai simbol kebudayaan. Pernyataan ini diperkuat oleh Ember (2006: 20) yang mengatakan tanpa bahasa manusia tidak mampu mengenali kebudayaan leluhurnya yang berupa simbol-simbol kebahasaan, dan tidak mampu pula mereka mewariskan kepada generasi penerusnya.

Basa rinengga sebagai data seni biasa dimunculkan dalam karya seni/sastra kidung , sekar macapat, sastra lampahan, dan seni berpidato. Basa rinengga biasa dikemas dalam gaya bahasa, dan purwakanthi. Contohbasa rinengga dalam gaya bahasa metafora misalnya kata sedhela banget dimetaforkan menjadi sakedhep netra, atau yen nginanga durung abang, yen idua durung asat. Frasa-frasa tersebut semuanya merujuk arti sebentar, tetapi bentuknya diperindah dengan wujud perumpamaan orang makan sirih dan orang memandang yang sangat sebentar.

Selain dengan memetaforakan basa rinengga dapat pula dimunculkan dengan wujud purwakanthi. Purwakanthi adalah pengaturan bunyi bahasa agar terlihat runtut dan enak didengar. Purwakanthi memiliki tiga jenis yaitu purwakanthi guru swara, guru sastra dan purwakanthi lumaksita (Padmosoekotjo (1958:118). Purwakanthi guru swara adalah purwakanthi yang menyebut ulang bunyi-bunyi yang sama. Contohnya: lesung jumengglung, sru imbal-imbalan (Saryono, 2011), dalam larik tersebut terjadi perulangan bunyi ung, dan al. Purwakanthi guru sastra adalah purwakanthi yang mengulang fonem konsonan pada kata yang dirangkai, misalnya: bayem arda ardane ngrasuk busana konsonan r pada arda , dan  diulang pengucapannya pada kata berikutnya. Contoh ini sekaligus sebagai contoh jenis purwakanthi lumaksita, yaitu purwakanthi yang mengulang kata yang sama pada kata berikutnya, yaitu kata arda, dan diulang pada ardane.

Basa rinengga yang berujud purawakanthisering digunakan untuk menggubah wangsalan, parikan, dan laguseperti yang terangkum dalam tembang dolanan  “Buta-buta Galak,” berikut ini. //Buta-buta galak polahmu lunjak-lunjak, /mlaku cikrak-cikrak nyandhak kunca nuli tanjak, /ngadek bali meneh rupamu ting celoneh, /kuwi buron apa daksengguh buron kang aneh, /hla wong kowe we we sing marah-marahi, hla wong kowe we we sing marah-marahi, /gawemu sok ngono gawemu sok ngono.// (Padmosoekotjo, 1958:119-120)

            Seni merangkai bahasa bukan hal yang biasa, karena di dalamnya terkandung pola pikir yang hierarkhis, analitis dan sitentis. Langkah seperti ini menyiratkan bahwa proses penciptaan dan cara pemahamannya menganut kaidah-kaidah keilmiahan, yang salah satunya ditandai dengan bekal ilmu pengetahuan pengetahuan yang kuat sesuai dengan bidangnya (Suyanto, 2007:5).

Data kesenian yang lain yang dapat digunakan untuk menggali nilai-nilai yang terkait dengan watak, dapat dijumpai dalam seni tatah dan sungging. Wajah tokoh wayang dibedakan dalam beberapa jenis, antara lain wanda luruh, wanda branyakan, wanda gagahan, wanda raseksa dan lain-lain dapat dijadikan sebagai subjek kaji untuk mengenali watak atau perangai tokoh, atau mengenali sifat manusia yang terdapat dalam buku Wirasating Wanita, dan Katurangganing Wanita.

Wanda luruh biasa dimiliki para satriya, adapun watak yang dimiliki adalah watak santun, jujur,  dan pemberani. Wanda mbranyak untuk menggambarkan satriya yang periang dan pemberani. Wanda gagahan, untuk menggambarkan satriya yang perkasa, sedangkan wanda raseksa untuk menggambarkan watak angkara murka (Nurhayati, 2005:698).

            Selain pada data di atas unsur kebudayaan Jawa, dapat berujud seni suara, seni musik, seni lakon, dan seni rupa Jawa. Seni suara didapatkan dalam data tembang, kidung,kakawin, senggakan, dan gerongan, sedangkan data seni musik antara lain berujud senikrawitan, klenengan, cokekan, siteran, gejog lesung,kentrung,dan calung.

Wujud data seni lakon antara lain wayang, kethoprak, srandhul, sintren, ludruk,dan sandiwara. Seni lakon yang menjadi ladang subur penelitian adalah wayang purwa. Data unsur kebudayaan yang berupa seni rupadatpat ditemuka pada seni tatah, sungging, nggambar, kaligrafi, batik, relief,iluminasi,busana dan lain-lainnya. Data-data ini merupakan unsur kebudayaan Jawa yang dapat dikaji melaui berbagai sudut pandang, dan dapat dilakukan lintas prodi.

 

Langkah Penguatan Kearifan Lokal Jawa

Arti penguatan kearifan lokalJawa adalah menjadikan kearifan lokal Jawa menjadi semakin kuat. Maksud kata kuat disini adalah meningkat jumlah hasil kajiannya, meningkat jumlah pemerhati dan pembelajarnya, meningkat jalinan kerjasamanya, dan meningkat pensosialisasiannya. Dalam istilah Jawa disebut dengan kata misuwur, kondhang, kaloka karena ada unsur yang dapat dibanggakan.

Penguatan kebudayaan Jawa dapat dilakukan dengan beberapa cara yang bersifat akademis. Cara pertama adalah penelitian, cara ini merupakan tugas wajib para dosen. Penelitian kebudayaan Jawa dapat dilakukan lintas Prodi, dengan mengkaji unsur kebudayaan yang terkait dengan spesifikasi Prodi mitra.. Model penelitian semacam ini akan menguntungkan masing-masing Prodi yang bersinergi, karena jenis penelitian ini akan mengasilkan lahan dan hasil kajian yang baru. Sebagai contoh kajian iluminasi naskah Jawa tinjauan seni dan filologi. Penelitian ini akan menghasilkan desain katalog seni, dan katalog iluminasi naskah Jawa. Katalog seni dapat dimanfaatkan untuk menciptakan hiasan kreasi baru hiasan produk seni rupa, dampak yang diperoleh adalah ide-ide berwirausaha.

Contoh lain adalah penelitian naskah yang berisi tentang batik. Penelitian ini dapat dilakukan antara Prodi Jawa dan Tari, atau dengan Seni Kerajinan. Hasil penelitian dapat berupa motif batik, cara membatik, cara berwirausaha batik, motif batik yang cocok untuk jenis tarian Jawa, dan lain sebagainya sesuai tujuan tynag dirancang.

Penguatan kearifan lokal dapat dilakukan dengan cara menjurnalkan hasil-hasil penelitian ke jurnal nasional atau internasional. Tuntutan saat ini hasil penelitian sedapat mungkin diusahakan ke masukkan ke jurnal internasional. Memasukkan karya ke jurnal internasional masih dirasakan berat untuk Prodi Pendidikan Bahasa Jawa, mengingat kemampuan berbahasa asingnya sangat rendah. Untuk mengurai permasalahan ini saya rasa perlu dibangun kerjasama dengan Prodi bahasa asing. Dosen-dosen bahasa asing memiliki kemampuan mengalihbahasakan karya tersebut dan dikirim ke jurnal internasional. Kerja sama semacam ini akan menguntungkan keduanya.

Penguatan kearifan lokal dapat juga dilakukan dengan model muhibah ke instansi yang memiliki jalinan kemitraan. Lembaga mitra bisa yang berasal dari mancanegara atau dalam negeri. Program ini untuk promosi kebudayaan dan belajar budaya mitra, yang dampaknya akan memperkokoh kebanggaan terhadap budaya lokal dan menumbuhkan rasa handarbeni. Apabila perasaan ini tumbuh niscaya sikap ingin melestarikan budaya leluhur akan ngrembaka.

Pola penguatan kearifan lokal yang lain adalah model tegur sapa ilmiah dan sarasehan. Perlu dibangkit kebutuhan tegur sapa antardosen serumpun keilmuan. Apabila ada dosen yang mendaptkan ilmu pengetahuan yang baru, dari seminar, dari studi atau hasil penelitian, dapat disampaikan kepada teman lain yang sejenis bidang keilmuannya. Cara ini akan mengantar sesama dosen untuk memperbaharui ilmunya, mengantisipasi adanya stagnasi keilmuan/ketertinggalan keilmuan

Bagi dosen muda model nyantrik pada seniornya, pasti akan menguntungkan. Pada pola ini dosen senior akan mewariskan ilmunya kepada dosen yuniornya. Pola nyantrik dapat diterapkan pada pembelajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat atau yang lainnya. Penguatan kearifan lokal akan berjalan secara intensif apabila pada seluruh sivitas akademika memiliki rasa.

Upaya penguatan kearifan lokal bisa  terwujud dengan baik apabila segenap sivitas akademika memiliki keinginan kuat untuk unggul di bidang akademik yang bercirikan keraifan lokal Jawa. Sikap penguatan dapat dilakukan dengan beberapa tahapan seperti berikut ini.

(1) Semakin tinggi keinginan untuk menunjukan jati dirinya, maka semakin tinggi pula keinginan FBS untuk memperkuat kearifan lokal Jawa.

(2) Semakin tinggi keinginan meningkatkan kualitas kearifan lokal Jawanya, maka semakin kuat pula FBS mengkaji kearifan lokal Jawa.

(3) Semakin tinggi keinginan unggul berbasis kearifan lokal Jawa, semakin gigih pula FBS mempromosikan kerifan lokal Jawa yang dimilikinya.

(4) Semakin tinggi keinginan untuk dikenal dunia luar, semakin gencar FBS mempromosikan dirinya yang berbasis kearifan lokal Jawa.

(5) Semakin tinggi ingin dikatakan unggul, semakin tinggi pula FBS meningkatkan kualitas kajian kearifan lokal Jawa (modifikasi pola pikir Pierce, via Rahyono, 2009: 56-63).

Pola pikir di atas dilihami oleh kebutuhan manusia untuk mempertahankan kualitas hidupnya. Manusia tidak mau hidupnya berhenti pada suatu titik, dan ingin hidupnya terus belanjut. Untuk  melangsungkan hajat hidupnya manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhanya, untuk tetap mampu bertahan hidup. Agar manusia mampu bertahan hidup, dia akan menggunakan kecerdasannya untuk menemukan solusi bagaimana mempetahankan hidup.

 

Penutup

Keberhasilan upaya penguatan kearifan lokal (Jawa) sebagai ciri unggulan FBS sepenuh  terpulang kepada segenap sivitas akademika. Apabila ada keinginan kuat untuk mewujudkan insya allah Allah akan mengabulkannya.

Demikianlah orasi singkat yang dapat saya sampaikan. Saya menyadari sepenuhnya bahwa orasi ini masih sangat jauh dari pantas. Untuk itu, saya mohon maaf apabila orasi ini tidak layak dan tidak berkenan di hati segenap hadirin, terima kasih atas perhatian. Akhinya, jenang sela wader kali sesondheran, apuranta yen wonten lepat kawula. Matur nuwun.

 

Catatan

Naskah orasi ilmiah ini disampaikan dalam rangka dies natalies FBS UNY ke-52 di Lab. Karawitan FBS pada Senin, 4 April 2015.

Prof. Dr. Endang Nurhayati, M.Hum.
Prof. Dr. Endang Nurhayati, M.Hum.