Pembekalan Advokasi Diri Dan Resolusi Konflik Untuk Mahasiswa Disabilitas UNY

Dalam upaya meningkatkan kemandirian dan kesuksesan akademik mahasiswa dengan disabilitas, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) bekerjasama dengan The University of Exeter, UK melalui pendanaan British Academy mengadakan workshop yang berfokus pada pelatihan self-advocacy (advokasi diri) dan resolusi konflik. Acara ini menghadirkan dua narasumber ahli, yaitu Nur Azizah, Ph.D. dan Pujaningsih, Ed.D., yang keduanya merupakan dosen dari prodi Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan UNY.

Pelatihan ini menekankan urgensi penguasaan dua keterampilan utama tersebut bagi mahasiswa disabilitas, terutama dalam lingkungan pendidikan tinggi. Menurut Nur Azizah, Ph.D., self-advocacy adalah kemampuan individu untuk mengenali dan mengomunikasikan kebutuhan, hak, serta kepentingan dirinya secara efektif. Komponennya meliputi pemahaman diri (knowledge of self), pengetahuan tentang hak (knowledge of rights), kemampuan komunikasi, dan kepemimpinan. Sementara itu, Pujaningsih, Ed.D. mendefinisikan resolusi konflik sebagai proses sistematis untuk mengidentifikasi sumber perbedaan, memahami perspektif semua pihak, dan mencapai kesepakatan melalui negosiasi dan kompromi. Kedua keterampilan ini saling melengkapi dan sangat penting untuk keberhasilan akademik dan kemandirian.

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi mahasiswa disabilitas adalah perbedaan sistem layanan dari sekolah menengah ke perguruan tinggi. Di perguruan tinggi, mahasiswa harus secara proaktif mengajukan permohonan dan menyerahkan bukti disabilitas untuk mendapatkan akomodasi yang layak. Data menunjukkan bahwa banyak dosen dan mahasiswa disabilitas tidak mengetahui adanya regulasi seperti Permendikbud no 48 tahun 2023 yang menjamin hak mahasiswa disabilitas atas akomodasi yang layak. Dosen di Perguruan tinggi belum sepenuhnya memberikan akomodasi yang layak bagi mahasiswa sehingga mahasiswa disabilitas perlu secara proaktif mengkomunikasikan kepada dosen yang bersangkutan mengenai kebutuhan akomodasai yang layak bagi mereka ,” ujar Nur Azizah, Sabtu (16/8/25) di UNY.

Pujaningsih menambahkan, situasi ini sering kali memicu konflik, seperti penolakan memberikan catatan kuliah karena dianggap “tidak adil” bagi mahasiswa lain. Di sinilah keterampilan resolusi konflik berperan. Mahasiswa perlu belajar cara mengidentifikasi keberatan dosen (specifying), memahami pandangan mereka (reflecting), mencari tujuan bersama (mutualizing), dan berkolaborasi mencari solusi alternatif (collaborating). “Latihan resolusi konflik di perguruan tinggi adalah simulasi kehidupan nyata yang mempersiapkan mereka menghadapi dunia profesional,” jelas Pujaningsih.

Workshop ini juga menyoroti berbagai tantangan lain yang dihadapi mahasiswa disabilitas, seperti kurangnya kepercayaan diri akibat pengalaman penolakan sebelumnya dan hambatan komunikasi. Banyak mahasiswa baru cenderung menunggu masalah memburuk sebelum mencari bantuan. Padahal, pelatihan Self-Advocacy and Conflict Resolution (SACR) terbukti dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam meminta dan menegosiasikan akomodasi secara signifikan. Peserta pelatihan bahkan melaporkan bahwa mereka merasa lebih percaya diri untuk berbicara dengan dosen dan menyelesaikan konflik yang mungkin muncul.

Melalui workshop ini, Nur Azizah dan Pujaningsih berharap mahasiswa dapat memahami bahwa penguasaan kedua keterampilan ini sangat penting untuk mencegah risiko putus kuliah yang tinggi di kalangan mahasiswa disabilitas. “Tanpa keterampilan ini, hak dan dukungan penting untuk keberhasilan akademik bisa terlewatkan,” pungkas Pujaningsih. Workshop ini juga menjadi wadah bagi mahasiswa untuk mempraktikkan keterampilan tersebut melalui role-play, diskusi kasus, dan bimbingan terstruktur. Keterampilan ini tidak hanya relevan di kampus, tetapi juga di dunia kerja, interaksi layanan publik, dan komunitas secara luas.

Penulis
Dedy
Editor
Nur Azizah
Kategori Humas
IKU 3. Dosen Berkegiatan di Luar Kampus
IKU 5. Hasil Kerja Dosen Digunakan oleh Masyarakat