Mahasiswa Asing BIPA UNY dan Unnes Belajar Kriya Logam: Olah Manik-Manik Jadi Aksesoris Etnik

Sebanyak 43 mahasiswa asing peserta program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Universitas Negeri Semarang (Unnes) mendapatkan pengalaman unik dalam kelas budaya bertema kriya logam. Kegiatan yang digelar pada Jumat (21/11/25), di Laboratorium Kriya Logam FBSB UNY ini menghadirkan pembelajaran langsung mengenai teknik dasar mengolah manik-manik menjadi aksesoris etnik khas Nusantara.

Adapun peserta terdiri dari 19 mahasiswa BIPA UNY dan 24 mahasiswa BIPA Unnes yang berasal dari berbagai negara Asia, Eropa, hingga Amerika. Melalui kegiatan ini, mereka tidak hanya mempelajari bahasa Indonesia dalam konteks kelas, tetapi juga memahami nilai-nilai budaya melalui praktik seni kriya yang sederhana, menarik, dan mudah diaplikasikan.

Kelas budaya ini menjadi bagian dari mata kuliah Kriya Logam yang dipandu langsung oleh dosen pembimbing, Dedy Sartono, M.Pd. Dengan pendekatan berbasis praktik, Dedy memperkenalkan kepada para peserta bagaimana manik-manik dapat dirangkai menjadi ragam produk seperti gelang, anting, gantungan kunci, dan bros. Setiap peserta diberikan kesempatan untuk merancang desain pribadi dengan memadukan warna, bentuk, serta karakter manik-manik yang tersedia.

Menurut Dedy, kelas budaya ini dirancang untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa asing bahwa seni kriya Indonesia tidak hanya berorientasi pada logam berat, tetapi juga melibatkan material sederhana yang mudah dikelola. “Melalui aktivitas merangkai manik-manik ini, mereka bisa menangkap bahwa kriya logam Indonesia memiliki spektrum yang luas, kreatif, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Selain belajar bahasa, mereka juga berinteraksi dengan kebudayaan secara langsung,” kata dosen Pendidikan Seni Kriya FBSB UNY tersebut.

Selama kegiatan berlangsung, suasana laboratorium tampak hidup. Mahasiswa asyik memilih manik, mencoba kombinasi warna, hingga berdiskusi mengenai motif tradisional yang sering digunakan dalam aksesoris Nusantara. Banyak di antara mereka yang tampak antusias membuat karya sesuai selera pribadi, bahkan beberapa mencoba menerapkan pola etnik.

Salah mahasiswa asing dari Unnes, misalnya, mengaku baru pertama kali mencoba kriya berbahan manik. Ia merasa kegiatan ini membuka perspektif baru mengenai kerajinan Indonesia yang kaya warna dan detail. “Saya biasanya hanya melihat aksesoris etnik di pasar tradisional. Tetapi hari ini saya bisa membuatnya sendiri. Ini pengalaman yang sangat menyenangkan,” ujar John. Kegiatan ini tidak hanya melatih kemampuan berbahasa Indonesia, tetapi juga membangun rasa percaya diri dan keterampilan motorik halus peserta.

Selaras dengan misi pembangunan berkelanjutan, kegiatan kelas budaya ini turut mendukung Sustainable Development Goals (SDGs). Penguatan kreatifitas dan pembelajaran lintas budaya dalam kegiatan ini berkontribusi pada SDG 4 (Pendidikan Berkualitas) melalui penyediaan pengalaman belajar inklusif dan interkultural. Selain itu, kolaborasi antara mahasiswa dari berbagai negara mencerminkan SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan), yang mendorong kerja sama global dalam bidang pendidikan dan budaya.

Program kelas budaya kriya logam ini menjadi salah satu bentuk komitmen UNY dan Unnes dalam menciptakan ruang belajar yang holistik bagi mahasiswa asing. Dengan memadukan pembelajaran bahasa, seni, dan pemahaman budaya, kegiatan ini diharapkan memperkuat pengalaman imersif mahasiswa sekaligus menumbuhkan apresiasi terhadap kekayaan seni Indonesia.

Penulis
Dedy
Editor
Sudaryono
Kategori Humas
IKU 5. Hasil Kerja Dosen Digunakan oleh Masyarakat
IKU 6. Program Studi Bekerjasama dengan Mitra Kelas Dunia
IKU 7. Kelas yang Kolaboratif dan Partisipatif
IKU 8. Program Studi Berstandar Internasional