Dies Natalis Fakultas Bahasa Seni dan Budaya UNY

2
min read
A- A+
read

Prof. Sahid Teguh Widodo

Pageblug Pandemi Covid-19 memaksa kita belajar bertahan hidup. Masyarakat didobrak untuk tetap beraktivitas dengan kenormalan baru. Terduga benar, pasca sengkarut itu teknologi digital menjadi pilihan utama. Terhubung tapi tak bertemu. Keprihatinan menjadi patos lahirnya peradaban maya. Manusia mencipta aksentuasi menjadi sosok nir-raba dalam zona nyaman baru dan menggeser pandangan tentang seni berkomunikasi. Di sisi lain, kesenian tidak lagi sepi menapaki jalan buntu tradisi dan asumsi, kecuali mau merubah diri di tengah gerusan modernitas. Pada titik ini, adaptasi pemikiran seni sama pentingnya dengan rasa seni yang tidak mengenal batas ruang waktu dalam laga digital. Seni –pelan tapi pasti– menembus kodratnya sendiri, memilih jalan yang sekilas tampak liar, tidak prosedural, dan telanjang dari balutan genre. Kelompok seni home industry melesat jauh lebih rikat dibanding industri seni konvensional. Maka, menjadi bintang tidak selalu lahir dari industri, namun dari oase baru yang bebas. Lahirlah Woko Chanel, Payung Bunder, Bakar Production, dan lain-lain dengan penghasilan metropolis yang sangat fantastis. Semua ini telah merubah pandangan masyarakat terhadap kehadiran seni dalam kehidupan. Hal ini dikatakan Guru Besar Etnolinguistik Bidang Onomastik FIB UNS, Prof. Sahid Teguh Widodo, Ph.D dalam rapat terbuka Senat Dies Natalis ke-60 Fakultas Bahasa Seni dan Budaya (FBSB) UNY, Selasa (2/5) di Performance Hall FBSB UNY. lebih lanjut Sahid Teguh Widodo memaparkan perubahan pandangan dunia telah merombak kesadaran, keyakinan, norma, dan nilai dalam seni dan kebudayaan. Seni harus mampu memaknai dirinya di tengah relasi sosial yang telah berubah. Seni masa depan harus mampu mengejawantahkan patos semesta yang telah berubah. Sungguh, masa depan seni Jawa terletak di tangan kreatif yang mampu menyadari, mengadaptasi, dan merespon secara inovatif” katanya. Seni Jawa diyakini akan menjadi pusat perhatian dunia masa depan karena karakteristik sejarah yang unik, memiliki daya dan kekuatan yang bersendi pada Cosmos (Mamayu Hayuning Bawana) dan nilai humanitat-religious (Manunggaling Kawula lan Gusti), serta sistem kekerabatan yang tidak meniadakan self Jawa yang ikhlas nan bersimpuh. Dalam atmosphere kebebasan berekspresi (Karyenak Tyasing Sasama), seni Jawa diyakini mampu menjinakkan tradisi mekanistik Barat (tali kendho) yang terkesan angkuh, pongah, dan penuh dengan impian utopis kekuasaan. Seni Jawa memberikan tafsir nilai yang berbeda, memberi ajang amba terhadap pengetahuan tentang hidup (urip-urub yang urip-hurup) sepanjang zaman. Tafsir nilai terhadap kebudayaan sangat dinamis, namun tetap dapat ditemukan nilai hakiki budaya dan posisi strategisnya sebagai tubuh peradaban.

Ketua Pusat Unggulan Ipteks Javanologi UNS tersebut menyampaikan dinamika manusia dalam perkembangan budaya digital, diambil fokus tertentu jika hendak membicarakan tentang manusia yaitu manusia Jawa (Javanese), bagian dalam semesta raya yang memiliki daya gerak dinamis selain kekuatannya yang teruji secara alami dan kebudayaan. Daya gerak dinamis manusia Jawa dapat ditilik dari kesadarannya (awareness), pengalaman dan memorinya, pengetahuan (knowledge), dan kebijaksanaannya (wisdom) dalam wujud piramidal. Masyarakat Jawa bersama kolektif dunia lain –disadari benar– tengah berada di dalam semesta simbolik baru yaitu Digital Era. Adakah itu membuat kita kebuntel kultur? Tak berdaya dan hanya menjadi pengguna, objek, dan pelengkap penderita? Kita harus mampu melihat realitas secara lebih jelas dan paripurna sehingga menangkap daya dan kekuatan di hadapan”ungkap Sahid. Sungguh pun tidak terlalu konkret namun pembebasan alam pikiran menjadi sangat penting. Saat ini kita tidak saja menjadi makhluk yang berhadapan, namun sekaligus menghadapi era berkembangnya budaya digital. Situasi yang sulit harus dijawab dengan kemampuan mengolah diri sendiri dalam konteks yang berubah dan merubah, hingga hidup manusia menjadi lebih bermakna dan menyejarah. Kita harus berani bermain, menjadi pemain, dan di dalam permaianan yang menguatkan jiwa dan raga hingga kita menjadi subjek total yang bebas. Kita bermain dengan ilat (bahasa), ulat (ekspresi logis), glagat (perilaku), dan kêmat (wisdom-rasa). Permainan adalah awal dari kebudayaan, dan karenannya jiwa menjadi bangkit. Jelasnya, dengan cinta (eros) dan perjuangan (agon), permainan menjadi sangat penting dalam pendidikan di dalam maknanya yang luas.

Menurut Dekan FBSB UNY Prof. Dr. Sri Harti Widyastuti dalam usianya ke-60 tahun FBSB UNY diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam bidang tugasnya, yakni pendidikan dan pengembangan keilmuan bahasa, seni dan akan selalu tumbuh dan berkembang dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, “Tema yang diusung tahun ini adalah ‘Perjalanan Budaya: Pulang-pergi Dari Lokalitas Menuju Globalitas’ dengan harapan dapat terus mengembangkan potensi dengan memegang teguh nilai-nilai untuk mewujudkan tercapainya visi dan misi FBSB” ungkap Sri Harti Widyastuti. Upacara Dies Natalis merupakan sebuah momen untuk merayakan bertambahnya usia lembaga dan merupakan waktu yang tepat untuk melakukan refleksi diri, melakukan pemaknaan kembali akan jati diri lembaga tersebut. Pada peringatan Dies Natalis FBSB ke-60 ini hadir jajaran pimpinan universitas, dekan, ketua lembaga serta dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa FBSB.

Penulis: Dedy

Editor: Sudaryono

MBKM